![$rows[judul]](https://perwirasatu.co.id/asset/foto_berita/IMG-20250831-WA0039_1.jpg)
Perwirasatu.co.id-Beberapa hari terakhir ini terjadi akumulasi kekecewaan Rakyat terhadap perilaku yang dipertontonkan elit negeri baik yang menjadi anggota dewan maupun yang diamanati pejabat negeri yang dirasakan Rakyat justru miris dan ngeri. Misal saja, para anggota dewan yang malah joget-joget ketika akan diberikan tunjangan hidup yang melimpah. Begitu dari kabinet yang malah kena OTT KPK dalam pemerasan alias korupsi, dan masih banyak peristiwa dan kejadian yang mereka pertontonkan yang memuakkan yang seharusnya mereka menjadi tuntunan bagi rakyatnya. Maka atas kondisi tersebut maka Rakyat rindu sosok negarawan di negeri ini atau sosok negarawan dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara ini.
Negarawan adalah orang yang ahli dalam kenegaraan (pemerintahan) atau sosok pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.
Negarawan menjadi kata yang selama ini disematkan kepada orang-orang yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya, dibandingkan kepentingan diri maupun kelompoknya. Sosok ini menjadi harapan ideal bagi siapa pun yang merindukan hadirnya pemimpin. Sejarah politik perjalanan bangsa di negeri ini sebenarnya telah memiliki modal sosial yang besar untuk melahirkan tokoh-tokoh negarawan.
Tentu kita masih ingat dengan ungkapan yang cukup terkenal dan relevan sampai saat ini. Sebuah pernyataan dari Manuel L Quezon, presiden pertama Filipina persemakmuran (sebelum menjadi Republik Filipina) yaitu: ”My loyalty tomy party ends where my loyalty t o my country begins” (Sebuah loyalitas pada partai politik berakhir ketika loyalitas kepada negara dimulai) . Hal yang sama juga diungkap Presiden AS ke-35, 20 Januari 1961, John F Kennedy ketika dilantik menjadi presiden negara adikuasa tersebut.
Tradisi politik tersebut merupakan cerminan dari sosok negarawan, maka sangatlah tepat jika Indonesia menerapkan ungkapan tersebut yakni siapapun yang ketika negara memberikan amanatnya maka wajib loyal kepada negara, jangan ada loyal lagi kepada partai atau organisasi berasal.
Negarawan dalam konteks politik sebenarnya juga tidak lepas dari apa yang dikonsepkan oleh Aristoteles seorang filsuf Yunani yang pertama kalinya mengungkapkan soal konsepsi manusia itu makhluk politik atau zoon politicon . Aristoteles pun menyebutkan politik selalu identik dan berkorelasi dengan apa yang disebut di Yunani kuno sebagai Polis yang dimaknai sebagai negara (state). Kata ini juga berkaitan dengan policy atau kebijakan.
Jamak diketahui kebijakan selalu inheren dengan politik. Namun, secara umum kebijakan tidak sekadar bernuansa politis, namun juga mengandung makna kebijaksanaan. Kebijaksaan politik inilah yang akhir-akhir ini langka dan terlupakan dalam praktek politik di negeri ini.
Bagaimanapun, unsur politik selalu tidak lepas dari kepentingan dan kebijaksanaan. Keduanya menjadi nilai yang inheren dalam praktik politik ideal. Jika keduanya tidak disatukan atau hanya satu saja yang dimainkan, yakni kepentingan, tentu praktik politik akan berjalan dengan kacamata kuda.
Hasilnya, yang terjadi adalah munculnya adagium ”Tidak ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan”. Inilah sesungguhnya musuh dan virus dari politik yang membuat para pelaku di dalamnya menjadi tumpul, kering, dan tidak memiliki roh seperti yang diperjuangkan dalam politik.
Dalam khazanah politik modern, hal ini kerap disebut sebagai politik partisan, pragmatisme, dan tentu saja sebuah politik yang hipokrit. Fenomena ini adalah lawan dari politik kenegaraan dan kebangsaan dalam pengertian sulit melahirkan sosok negarawan. Maka, politik mestinya dikembalikan pada hulunya, yakni kebijaksanaan dan kebijakan yang bijak. Bagaimana kita menemukan praktik politik yang bijak ketika politik era modern saat ini sudah dikepung oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek, ekonomi, dan kapitalisme?
Politik saat ini sudah telanjur menjadi lumpur kekotoran. Politik hari ini bagaikan sekadar permainan dan ajang kontestasi. Parahnya, di ajang kontestasi itulah kemudian sikap kenegarawanan mengalami reduksi dan terpinggirkan oleh praktik-praktik politik yang cenderung menghalalkan segala cara. Hukum diperdaya, uang memainkan segalanya, dan kepentingan kekuasaan menjadi berhala. Namun, tentu kita sebagai bangsa tidak harus kemudian larut, pesimis, dan diam terhadap kondisi ini.
Partai politik sebagai ujung tombak demokrasi dalam melakukan praktek politik, harus tetap dikontrol, diawasi, dan tentu saja dimasuki agar orangorang yang kering dari jeritan rakyat, orang-orang yang mencari kehidupan dalam politik, menjadi terpinggirkan. Mereka akan tergusur oleh orang-orang yang memang dilahirkan menjadi sosok- sosok politisi negarawan yang ditempa melalui jaringan pengalaman organisasi dan kepemimpinan.
Rahayu Indonesia Ku...
Oleh : Kang Oos Supyadin SE MM,
Pemerhati Kebijakan Publik dan Penulis aktif dalam kegiatan budaya, adat dan kesejarahan.
Disclaimer :
Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi. Segala bentuk analisis, pendapat, dan kesimpulan dalam tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Redaksi berkomitmen untuk menjunjung tinggi kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab sesuai dengan prinsip jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tulis Komentar