Perwirasatu.co.id-Jakarta– Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendaftarkan gugatan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Presiden Republik Indonesia ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, pada 25 Oktober 2023. Gugatan tersebut berdasarkan pada perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).
Gugatan tersebut diajukan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang tidak kunjung dibahas oleh DPR dan Presiden RI. Meskipun RUU Masyarakat Adat telah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas Prioritas) DPR RI. RUU tersebut mandeg dan tidak pernah naik ke tingkat II (Paripurna) untuk menjadi RUU inisiatif DPR yang kemudian dibahas bersama Pemerintah.
“Sejak 2009, RUU Masyarakat Adat berproses tanpa ada kepastian. Situasi tersebut yang mendorong perwakilan kelompok Masyarakat Adat mengajukan gugatan,” ujar Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).
Alam menjelaskan, pihak penggugat sebanyak sepuluh orang, satu mewakili organisasi Masyarakat Adat, yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Sementara tujuh di antara penggugat ada di dalam penjara yang diduga mengalami kriminalisasi.
“Ini menjadi poin penting. Karena tidak adanya UU perlindungan dan pengakuan Masyarakat Adat, mereka menjadi rentan mengalami kriminalisasi,” tegasnya.
Adapun pihak Penggugat yakni Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Cisungsang, Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai Timur, Masyarakat Adat Osing Banyuwangi, dan Masyarakat Adat Tobelo Dalam Halmahera Maluku Utara.
Pendaftaran gugatan terhadap DPR dan Presiden RI telah diterima oleh PTUN dengan nomor perkara 542/G/TF/2023/PTUN Jakarta.
“Melalui gugatan ini kami ingin mengingatkan kepada pemerintah bahwa tanpa adanya payung hukum nasional yang secara khusus mengatur Masyarakat Adat, maka konflik di level komunitas Masyarakat Adat ke depan berpotensi semakin tinggi. Kami berharap pemerintah serius sehingga data kasus tidak sekedar menjadi angka statistik,” sambung Fatiatulo Lazira S.H, salah seorang tim kuasa hukum dari PPMAN.
Pembentukan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sebagaimana amanat Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, merupakan kewajiban konstitusional DPR dan Presiden sebagai penyelenggara negara. Ketiadaan payung hukum khusus mengatur Masyarakat Adat membawa sejumlah konsekuensi negatif terhadap mereka, antara lain ancaman kriminalisasi atas akses pengelolaan hutan, hilangnya wilayah adat, bahkan lebih jauh, hilangnya eksistensi dan identitas adat itu sendiri.
AMAN mencatat selama 5 tahun belakang, terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat. PPMAN juga mendata selama Januari hingga September 2023 telah terjadi 12 kasus kriminalisasi yang terkait dengan konflik pengakuan atas pengelolaan wilayah adat.
Pendaftaran gugatan TUN terkait perbuatan melawan hukum yang dilayangkan Masyarakat Adat mempertimbangkan banyak hal, salah satunya adalah momentum tahun politik 2024. Dalam konteks kontestasi pemilu, isu Masyarakat Adat kerap dijadikan bahan kampanye. Namun, setelah calon tersebut berkuasa, isu tersebut redup dan tak tersentuh.
Dampak Tidak Disahkannya RUU Masyarakat Adat. RUU Masyarakat Hukum Adat telah selesai diharmonisasi tetapi tidak pernah berlanjut untuk ditetapkan. Berkali-kali pula AMAN dan perwakilan Masyarakat Adat lainnya terus mengingatkan agar pembahasan dilanjutkan sehingga tersedianya kepastian hukum.
Rukka Sombolingi, Sekjen AMAN mengatakan bahwa pihaknya telah mengirimkan permohonan resmi untuk pembahasan RUU Masyarakat Adat, tepatnya pada 31 Juli 2023 ke DPR RI dan 1 Agustus 2023 ke presiden, tapi hingga saat ini tidak ada tanggapan dari para pembuat kebijakan.
“Karena tidak ada tanggapan, maka hari ini kami mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Rukka mengatakan bahwa RUU Masyarakat Adat yang tak kunjung disahkan, menujukan bahwa DPR dan pemerintah tidak bersungguh-sungguh untuk memberikan pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat.
Ia mencontohkan berbagai berdampak buruk bagi Masyarakat Adat di tingkat tapak akibat dari tidak adanya paying hukum nasional yang melindungi Masyarakat Adat. Misalnya, tentang mitigasi perubahan iklim dan transisi energi.
“Bendungan, PLTA, geothermal, dll, saat ini semua dibangun dengan merampas wilayah adat. Hutan-hutan terbaik yang selama ini dijaga oleh Masyarakat Adat, diklaim oleh pemerintah dalam urusan perdagangan karbon,” ujarnya.
Hal lain yang ia contohkan adalah Kawasan hutan lindung, konservasi, taman nasional, tambang, telah merugikan Masyarakat Adat karena diusir dari kampung halamannya, bahkan dikriminalisasi.
“Orang Tobelo Dalam yang mengalami stigma, bahkan dipenjara seumur hidup. Mikael Ane dihukum 1,5 tahun penjara karena hidup di wilayah adatnya yang diklaim oleh pemerintah sebagai kawasan hutan taman wisata alam. Ini dampak buruk dan membuat Masyarakat Adat rentan karena tidak adanya perlindungan dan kepastian hukum,” pungkasnya.
(Tim Liputan)
Tulis Komentar