Perwirasatu.co.id-Manggarai Barat- NTT-Putusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo atas Perkara Nomor: 23/Pdt.G/2023/PN. Lbj., tertanggal 25 Juni 2024, batal demi hukum.
Hal ini diungkapkan oleh Benediktus Janur, S.H., kuasa hukum Tergugat dalam perkara tersebut. “Putusan ini batal demi hukum karena melanggar ketentuan Pasal 13 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 26 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik,” kata Benediktus Janur.
Dijelaskan Benediktus Janur, Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kehakiman”) menetapkan, semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
Dalam ayat (2)-nya ditetapkan bahwa putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Sedangkan dalam ayat (3) Pasal 13 tersebut ditetapkan, tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dalam perkembangan sekarang ini, ungkap Benediktus Janur, persidangan di pengadilan dilakukan secara elektronik sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (PERMA 7/2022).
Dalam Pasal 26 ayat (2) PERMA 7/2022 ditetapkan bahwa putusan/penetapan oleh Hakim atau Hakim Ketua secara elektronik. Dalam Pasal 26 ayat (3) ditetapkan, “Pengucapan putusan/penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), secara hukum dilakukan dengan mengunggah salinan putusan/penetapan ke dalam SIP.
Kemudian dalam ayat (4) ditetapkan, “Pengunggahan salinan putusan/penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), secara hukum telah memenuhi asas sidang terbuka untuk umum.
Dalam ayat (5) ditetapkan, “Pengucapan dan pengunggahan salinan putusan/penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan pada Hari dan tanggal yang sama.
Dan ayat (6) berbunyi: “Salinan putusan/penetapan elektoronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memiliki kekuatan dan akibat hukum yang sah.
Dalam ayat (7) ditetapkan: “Pada Hari dan tanggal yang sama dengan pengucapan putusan, Pengadilan mempublikasikan putusan/penetapan untuk umum pada SIP.
Diungkapkan Benediktus Janur, Perkara Nomor: 23/Pdt.G/2023/PN Lbj dilakukan persidangan secara elektronik sebagaimana diatur dalam PERMA 7/2022. Putusan Perkara tersebut dilakukan secara elektronik.
Tetapi ada dua kesalahan fatal yang dilakukan oleh Majelis Hakim:
Pertama, berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (3) juncto ayat (5) dan ayat (7) PERMA 7/2022, pengucapan putusan oleh Hakim Ketua secara elektronik dilakukan dengan mengunggah salinan putusan ke dalam SIP pada Hari dan tanggal yang sama, yakni pada Hari Selasa, tanggal 25 Juni 2024.
Faktanya, pada Hari Selasa, tanggal 25 Juni 2024, tidak ada salinan Putusan Perkara Nomor: 23/Pdt.G/2023/PN Lbj dalam SIP. Bahkan, sampai dengan hari Minggu, tanggal 30 Juni 2024, belum ada salinan Putusan Perkara tersebut dalam SIP.
Yang tertulis dalam SIP untuk Perkara tersebut adalah: “Salinan Putusan Belum Tersedia”. Hal ini berarti berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (3), belum ada pengucapan Putusan Perkara Nomor 23/Pdt.G/2023/PN Lbj, karena belum ada pengunggahan salinan Putusan pada Hari Selasa, tanggal 25 Juni 2024.
Kedua, Putusan Perkara Nomor 23/Pdt.G/2023/PN Lbj tersebut tidak memenuhi asas sidang terbuka untuk umum karena tidak ada pengunggahan salinan Putusan Perkara Nomor 23/Pdt.G/2023/PN Lbj pada Hari Selasa, tanggal 25 Juni 2024 sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (4) PERMA 7/2022 yang menetapkan bahwa pengunggahan salinan putusan/penetapan sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 ayat (3), secara hukum telah memenuhi asas sidang terbuka untuk umum.
Ketiga, karena tidak memenuhi asas sidang terbuka untuk umum, maka putusan Pengadilan atas Perkara Nomor 23/Pdt.G/2023/PN Lbj tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menetapkan “putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.
Dan oleh karena itu Putusan Perkara Nomor 23/Pdt.G/2023/PN Lbj batal demi hukum sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 yang menetapkan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Terkait Putusan Perkara Nomor 23/Pdt.G/2023/PN. Lbj yang mengabulkan gugatan Penggugat, Philipus Neri Jewaru, juru bicara dari 23 warga Kampung Mbrata sebagai Tergugat, mengatakan bahwa mereka telah menyerahkan perkara tersebut kepada Kuasa Hukum.
“Kami sebagai petani hanya tahu tanah Kaca Mbalung yang jadi obyek perkara tersebut telah diserahkan oleh Tua Adat Mburak Bapak Semau pada tahun 1973 kepada Bapak Bene Wilong untuk dan atas nama warga Mbrata.
Sejak tahun 1975 sudah ada kuburan di tanah tersebut menjadi kuburan umum kampung Mbrata. Kami juga sudah menggarap tanah tersebut dengan berbagai tanaman untuk hidup kami.
Kami heran jika tiba-tiba sekarang ada yang pihak yang mengaku memiliki hak atas tanah tersebut berdasarkan surat penyerahan tahun 1988.
Lalu kami digugat dan dalam putusannya majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat dengan mengabaikan fakta-fakta persidangan yang kami ajukan dalam persidangan.
Kami hanya berdoa secara adat Manggarai di tanah sengketa tersebut. Jika penggugat dan putusan majelis hakim itu benar, ya mereka dan turunannya tentu selamat dalam hidupnya.
Sebaliknya jika tidak benar, ada main uang. Karena ini menyangkut masalah tanah. Tidak bisa tipu-tipu atau mengabaikan kebenaran. Pasti ada karmanya. Pasti kembali ke diri kita dan anak cucu kita,” ungkap Philipus.
(Tim Liputan)
Tulis Komentar