Perwirasatu.co.id-Jakarta — Dewan Pers saat ini sudah seperti Tuhan yang mengatur masa depan pers di Indonesia tanpa kontrol. Agar tidak menjadi Tuhan, wartawan senior, penggiat anti korupsi HM.Jusuf Rizal,SH bentuk Indonesian Journalist Watch (IJW) sebagaimana amanat UU Pers 40 Tahun 1999, Pasal 17 sebagai lembaga pengawasan pers di Indonesia.
Menurut Jusuf Rizal, pria berdarah Madura-Batak itu kepada media di Jakarta, dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 pada Bab VII Pasal 17 telah diatur peran serta masyarakat untuk turut serta dan dapat melakukan kegiatan guna mengembangkan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
“Jadi, Indonesian Journalist Watch (IJW) hadir mengisi kekosongan karena minimnya lembaga pengawasan pers. Sementara pers saat ini akibat revolusi industri, tumbuh seperti jamur di musim hujan. Sedang Dewan Pers stagnan jadi organisasi stempel atas nama menjalankan UU,” tegas Jusuf Rizal, Ketum PWMOI (Perkumpulan Wartawan Media Online Indonesia) itu.
Menurut penilaian Jusuf Rizal, Dewan Pers saat ini terkooptasi hanya mengurus organisasi wartawan yang menjadi anggotanya. Sementara dalam UU Pers Pasal 15 Ayat 4 telah diatur secara rinci fungus-fungsi Dewan Pers. Seharusnya Dewan Pers hadir untuk semua, tanpa ada pengkotak-kotakan. Dewan Pers sudah seperti menara gading dengan banyak masalah namun minim pembelaan terhadap pers.
Dikatakan peran serta masyarakat dalam pengawasan secara rinci itu, diatur pada Pasal 17 dapat berupa : a. memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers; b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
“Untuk itu, Indonesian Journalist Watch (IJW) akan mengkritisi kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan etika, moral, hukum maupun perundang-undangan. Misalnya, kami turut mengkritisi Dewan Pers dalam kasus Sambo, dimana diduga ada upaya membungkam pers bicara fakta,” tegas Jusuf Rizal, Presiden LSM LIRA (Lumbung Informasi Rakyat) itu.
Menurutnya, saat ini banyak terjadi diskriminasi kepada pers, pers mahasiswa dan wartawan. Dewan Pers hanya fokus pada media-media besar yang dibesarkan zaman Orde Baru. Pers kecil, khususnya, media online yang tumbuh ribuan keleleran, terpinggirkan dan bahkan cenderung mau dibunuh lewat kebijakan UKW (Uji Kompetensi Wartawan) dan Sertifikasi perusahaan media.
“Media dan wartawan yang belum memenuhi syarat tergabung di Dewan Pers sudah seperti penjahat. Dilarang meliput di instansi pemerintah. Dilarang menerima kue iklan. Itu karena Dewan Pers berlindung atas nama Pasal 15 ayat 4 poin. Dewan Pers sudah seperti kartel dengan kroninya. Padahal belum tentu wartawab yang belum UKW dan Medianya tidak terverifikasi di Dewan Pers, kualitasnya lebih bagus dari wartawan yang sudah UKW dengan etika dan moral yang baik ” tegas wartawan PWI era Masdun Pranoto itu.
Sementara, ketika anggotanya, organisasi PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), tersandung masalah dugaan korupsi dan penggelapan uang Rp.2,9 milyar dari dana bantuan Kementerian BUMN hanya dial seribu bahasa. Padahal ini menyangkut atika, moral dan hukum. Dewan Pers hanya membela kelompok kepentingan, tidak berdiri dan hadir untuk seluruh insan pers.
“Indonesian Journalist Watch (IJW) akan terus mengkritisi kebijakan Dewan Pers, Pers maupun wartawan dalam industri pers. Karena tanpa ada pengawasan, misalnya masalah bantuan-bantuan pemerintah dan perusahaan ke organisasi pers di Pusat dan Daerah, diduga tidak dikelola secara transparan dan akuntable. Rawan dikorupsi hanya untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan," tegas Jusuf Rizal penggagas organisasi The Indonesian Journalist Watch (IJW) itu.
(Tim Liputan)
Tulis Komentar