Aktivis LSM di Sumut Minta Inspektorat ATR/BPN Turun Tangan Soal Kasus SHM atas Nama Bintang Sitorus

$rows[judul]

Perwirasatu.co.id-Deli Serdang-Perwakilan dari Perkumpulan Lembaga Swadaya Forum Komunikasi Gerakan Cinta Entitas Indonesia (PLSFK-GRACEINDO) Sumatera Utara, Kamis (10/4-2025), secara resmi menyatakan sikap terkait polemik penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 477 yang berlokasi di Jl. Medan–Binjai KM 16, Desa Sei Semayang, Kabupaten Deli Serdang, lantaran SHM tersebut atas nama Bintang Sitorus.  

Ketua perwakilan PLSFK-GRACEINDO, Legiman, menilai telah terjadi kejanggalan serius dalam proses administratif dan hukum yang layak ditindaklanjuti secara mendalam oleh aparatur penegak hukum dan lembaga pengawas negara.

Dalam pernyataan resminya, Legiman menyampaikan bahwa kasus ini tak hanya sekadar perkara agraria biasa, melainkan berpotensi besar terjadinya rekayasa administrasi, pemalsuan identitas, serta penyalahgunaan kewenangan. Bahkan, dugaan kolusi yang dapat merugikan hak-hak warga negara.

Adapun salah satu kejanggalan mencolok yang disorot, adalah; kecepatan penerbitan SHM No. 477—hanya 18 hari—dengan adanya penambahan luas lahan dari 10.660 m² menjadi 11.888 m² tanpa penjelasan prosedural yang transparan. Bahkan, pengukuran lahan serta dokumen penguasaan fisik disebut muncul lebih dulu sebelum ada penetapan warisan yang sah.

Lebih lanjut, perwakilan PLSFK-GRACEINDO Sumut juga mengungkap temuan, bahwa; nama pemegang SHM, Bintang Sitorus, disebutkan tidak pernah tinggal di alamat yang tercantum dalam dokumen resmi. Legiman bahkan menyatakan, adanya dua identitas berbeda yang mengarah pada individu yang sama—yakni Dr. Sihar PH Sitorus. Hal itu dapat ditengarai telah melanggar Undang-Undang Administrasi Kependudukan, dan juga mencoreng integritas dokumen negara.

Selain itu, proses jual beli tanah dan penerbitan sertifikat diduga tidak melalui pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan tanpa Nomor Objek Pajak (NOP) juga tanpa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sehingga patut menjadi sorotan. 

Untuk itu, Ketua PLSFK-GRACEINDO meminta dan mendesak, agar Majelis Kehormatan Notaris serta Inspektorat ATR/BPN untuk segera turun tangan memeriksa para pejabat yang terlibat. Legiman juga vmenegaskan, bahwa; dirinya adalah pemegang sah SHM No. 655 dengan Nomor Induk Bidang (NIB) 00635, dan telah membayar PBB serta BPHTB sejak tahun 2006. Namun ironisnya sampai saat ini, ia justru malah mengalami penggusuran, intimidasi, dan juga gugatan hukum sepihak di PTUN tanpa pernah dilibatkan sebagai pihak.

“Kami melihat ini bukan hanya bentuk ketidakadilan, tapi juga pelanggaran atas asas keterbukaan dan perlindungan hukum, ungkap Legiman.

PLSFK-GRACEINDO Sumut menuntut keterlibatan aktif Komisi Yudisial, Ombudsman RI, Kementerian ATR/BPN, Kejaksaan, dan Kepolisian dalam membuka kembali seluruh proses penerbitan SHM No. 477. Bahkan, Legiman juga meminta Komnas HAM dan DPR RI untuk turun tangan mengawasi penyelesaian kasus ini karena menyangkut hak dasar warga negara atas tanah dan keadilan sosial.

Kami berdiri bersama rakyat kecil dalam menegakkan kebenaran dan keadilan,” tegas Legiman.

Dalam akhir pernyataannya, Legiman menegaskan komitmennya bahwa hukum harus berpihak pada kejujuran, bukan pada kekuasaan dan manipulasi. Untuk itu, PLSFK-GRACEINDO akan terus mendorong penyelesaian secara adil dan transparan terkait kasus ini.

Dalam rangka menegakkan asas keadilan, transparansi, dan supremasi hukum, Perwakilan PLSFK-GRACEINDO Sumatera Utara menyampaikan pula perspektif para pakar hukum dan analisis peraturan perundang-undangan yang relevan terhadap dugaan pelanggaran administratif dan pidana dalam penerbitan SHM No. 477, diantaranya:

1. Pelanggaran terhadap Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA No. 5 Tahun 1960).

Menurut Prof. Budi Santosa, pakar hukum agraria dari Universitas Nasional, penerbitan sertifikat yang tidak didasarkan pada bukti kepemilikan yang sah dan tidak melewati tahapan yang diatur dalam Pasal 19 UUPA dapat dianggap cacat hukum. Apalagi jika terjadi penambahan luas tanah tanpa dasar pengukuran ulang yang transparan dan sah.

“Setiap perubahan data fisik tanah harus melalui pengukuran resmi yang diumumkan secara terbuka kepada publik. Jika tidak, maka sertifikat tersebut rawan dibatalkan,” tegas Prof. Budi.

2. Dugaan Pemalsuan Identitas dan Pelanggaran UU Administrasi Kependudukan (UU No. 23 Tahun 2006).

Dr. Rina Febriana, ahli administrasi publik, menegaskan bahwa penggunaan identitas ganda atau alamat palsu dalam proses peralihan hak atas tanah merupakan bentuk pemalsuan data kependudukan. Hal ini diatur dalam Pasal 93 dan 94 UU Adminduk dan dapat dikenakan sanksi pidana,

“Manipulasi data penduduk untuk mendapatkan hak atas tanah jelas merupakan pelanggaran serius. Jika terbukti, dapat dijerat dengan pidana administratif dan pidana umum,” katanya.

3. Pelanggaran PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

PP ini mewajibkan pengumuman hasil pengumpulan data fisik dan yuridis kepada masyarakat selama 30 hari sebelum sertifikat diterbitkan. Proses penerbitan dalam waktu 18 hari tanpa proses pengumuman terbuka dianggap melanggar asas keterbukaan informasi publik dan partisipasi masyarakat.

4. Indikasi Tindak Pidana Korupsi (UU No. 20 Tahun 2001).

Jika terdapat unsur gratifikasi atau suap dalam mempercepat proses AJB dan penerbitan SHM, maka dapat dijerat melalui Undang-Undang Tipikor. Dr. Andri Mahfud, pakar hukum pidana menyatakan, bahwa; penggunaan wewenang secara menyimpang demi keuntungan pihak tertentu adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan.

“Fasilitasi yang tidak wajar, apalagi dengan imbalan tertentu, jelas bisa masuk ke dalam ranah pidana korupsi,” ujarnya.

5. Pelanggaran Etika Notaris dan UU Jabatan Notaris (UU No. 30 Tahun 2004 jo. UU No. 2 Tahun 2014).

Notaris memiliki tanggung jawab hukum untuk memastikan bahwa AJB dan dokumen pendukung lengkap dan sah. Jika AJB dilakukan tanpa BPHTB, NOP, dan PBB, maka notaris dapat dikenai sanksi oleh Majelis Kehormatan Notaris.

Berdasarkan pendapat para pakar dan kajian undang-undang tersebut, maka dugaan pelanggaran dalam kasus SHM No. 477 bisa dikatakan meliputi:

Pelanggaran administratif atas prosedur pendaftaran tanah;

Pemalsuan data kependudukan dan identitas;

Pelanggaran etika profesi notaris;

Potensi tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang;

Pelanggaran atas asas keterbukaan dan keadilan dalam proses hukum.

Dikesempatan berbeda, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA., Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), sekaligus alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 48 Lemhannas RI tahun 2012, ikut menyatakan keprihatinannya atas kasus tersebut dan menyerukan serta mendesak agar penanganannya dilakukan secara serius, transparan, dan bebas dari tekanan politik maupun finansial.

“Saya mendesak aparat penegak hukum, baik Kepolisian, Kejaksaan, maupun Komisi Yudisial juga Ombudsman, untuk mengusut tuntas adanya dugaan rekayasa administratif dalam kasus SHM No. 477. Proses hukum, harus berjalan secara independen, adil, dan bebas dari intervensi kekuasaan dan uang, termasuk yang mungkin dimiliki oleh Sihar P.H. Sitorus, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan," tegas Wilson Lalengke.

Wilson juga mengingatkan aparatur negara, agar tidak membiarkan hukum hanya berpihak kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan modal,

"Keadilan harus hadir untuk semua, khususnya rakyat kecil yang seringkali menjadi korban sistem," tandasnya.

Oleh karena itu, menurut Wilson, PLSFK-GRACEINDO Sumatera Utara agar dapat menyerukan untuk dilakukannya investigasi mendalam, audit menyeluruh, serta pemanggilan semua pihak yang terlibat dalam kasus tersebut, demi menjaga marwah hukum dan hak-hak azasi warga negara.

(Wilson Lalengke)

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)