Perwirasatu.co.id-Banten- Pemimpin yang berbasis spiritual diperlukan untuk memimpin Indonesia hari ini agar bangsa dan negara Infonesia mampu memasuki masa depan yang leboh baik dan mencerahkan guna menggadapi persaiang global dalam berbagai aspek kehidupan. Karena pemimpin bangsa yang memiliki basis spiritual yang kuat mampu melakulan sikap dan tindakan yang jenuin dan substantif (esoterik) seperti yang diharapkan oleh banyak pihak. Dan pemimpin yang berbasis spiritual tidak terlalu mengharap penghormatan, karena pemimpin spiritual akan lebih mengutamakan kasih dan sayang serta perlakuan yang manusiawi tanpa harus membedakan antara yang satu dengan mereka yang lain. Tentu yang lebih utama adalah kepedulian yang berdasarkan kemanusiaan.
Sikap dan sifat kesetaraan ini selaras dengan dasar pemikiran agama langit yang memposisikan manusia sebagai khslifah Allah di muka bumi yang patut dan wajib mengamalkan tuntintan dan ajaran para Nabi yang diutus secara khusus oleh Tuhan untuk menyempurnakan dan menjaga tata kehidupan di bumi. Maka itu, pemaknaan terhadap makna rahmatan lil amamin dapat menjadi pegangan seluruh umat manusia -- tanpa kecuali bagi siapa pun -- yang menghendaki kerukunan hidup, keselarasan tata hubungan sesama makhluk lainnya serta tata lingkungan alam semesta, sebagai bagian dari wujud ketakwaan dan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, seprti yang termaktub dalam mukadimah UUD 1945 dan falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
Dan secara formal -- dalam tata negara Indonesia -- Pancasila telah disepakati sebagai ideologi. Hanya saja masalahnya, implementasi dari sila-sila Pancasila itu, baik sebagai ideologi negara maupun sebagai falsafah bangsa nyaris belum secuil pun dilaksanakan. Padahal di sudut sana telah bertengger BPIP (Basan Pelaksana Ideologi Pancasila) dengan anggaran negara yang wah-- namun tak pernah jelas gerangan apa yang telah sudah dilakukannya. Belum lagi evaluasi tentang efektif dan efisien dari apa yang sudah dilakukan itu, meski perilaku aparatur negara Indonesia justru terkesan semakin memble.
Konstatir Menko Polhukham Prof. Machfud MD bahwa musuh rakyat Indonesia sekarabg adalah pejabat negara -- seperti termuat secara meluas di media sosial -- menunjukkan secara telak kegagalan BPIP yang ditugaskan oleh Presiden untuk menunaikan fungsi pembinaan terhadap ideologi negara -- yaitu Pancasila -- untuk dianalkan salam bentuk nyata mulai dari cara berpikir, cara bersikap untuk kemudian melakukan tindakan dal bentuk kerja yang nyata demi dan untuk rakyat.
Jadi, ketika terjadi penyelewengan, penyalahgunaan jabatan, bersikap sewenang, tak mau dikritik bahkan khianat terhadap amanah rakyat, maka yang terbunuh itu bukan cuma kedaulatan rakyat, tapi juga rakyat itu sendiri yang masih terus dkbina-bobokkan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Agaknya, dalam kontek uefisme seperti inilah konsyatir Prof. Salim Said yang meyakinkan bahwa manusia Indonesia lebih banyak yang tidak takut kepada Tuhan. Meski masing-masing pejabat publik itu sudah disumpah atas nana Tuhan, tapi kebanyakan pejabat di Indonesia kebih takut kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Artinya, secara umum keberadaan dari pejabat publik di Indonesia memang berada pada posisi kucing-kucingan di habitat korupsi. Tal sedikit tampaknya yang masih berupaya menghindar dari modus dan model pemerasan atau tekanan, karena tersandera oleh kasus kriminal yang mereka lakukan. Karena itu untuk membersihkan pandemi korupsi di Indonesia butuh pemimpin yang kuat berbasis spiritual untuk mengatasi krisis global yang sedang melantak negeri kita.
(Tim Liputan)
Tulis Komentar