Keheningan Yang MenguatkanRasulullah SAW juga mengingatkan bahwa kesabaran bukan hanya menahan diri, tetapi memercayai rencana Allah.

$rows[judul]Keterangan Gambar : hati yang mempercayai Allah akan selalu menemukan ketenangan, sebagaimana anak-anak bebek itu menemukan kembali induknya.

Perwirasatu.co.id -- Ada momen dalam hidup ketika kita merasa sepi, ditinggalkan, atau tidak mengerti mengapa seseorang yang kita percayai tiba-tiba menjauh. Namun sebagaimana anak-anak bebek itu diam, saling merapat, dan menunggu dengan penuh percaya, demikian pula hati seorang mukmin diajari untuk tetap tenang. Sebab dalam setiap kepergian, selalu ada ujian, rencana, dan perlindungan Allah yang bekerja di balik layar.

Dalam kisah sederhana tentang induk bebek yang terbang sejenak meninggalkan tiga belas anaknya, kita menemukan potret kecil tentang kehidupan manusia. Ketika sang induk pergi, anak-anak bebek itu tidak lari panik. Mereka tidak berserakan, tidak ribut, tidak menuduh, dan tidak saling menyalahkan. Mereka hanya diam, merapat satu sama lain, menunggu dalam keheningan yang penuh yakin. Dan ketika sang induk kembali, rasa lega itu terasa bahkan sebelum kita menontonnya hingga akhir. Kisah itu seolah berbisik lembut bahwa tidak semua jarak berarti ditinggalkan selamanya, dan tidak semua “kepergian” berarti kehilangan.

Allah mengajarkan bahwa kepercayaan dan kesabaran adalah fondasi hidup. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: 

﴿وَعَسٰى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ﴾ 

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 216). 

Ayat ini menjadi pelita bagi setiap hati yang bertanya-tanya mengapa sesuatu terjadi tidak sesuai keinginan. Ketika induk bebek pergi, anak-anaknya tidak tahu apa yang dilakukan ibunya. Sama halnya ketika Allah menunda jawaban doa kita, atau ketika orang yang kita cintai mengambil keputusan yang membingungkan. Namun justru di sanalah letak hikmahnya: kepercayaan diuji, kesabaran menempa.

Rasulullah SAW juga mengingatkan bahwa kesabaran bukan hanya menahan diri, tetapi memercayai rencana Allah. Beliau bersabda: 

«وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ» 

“Ketahuilah, pertolongan itu datang bersama kesabaran.” (HR. Tirmidzi). 

Induk bebek itu mungkin hanya beberapa menit pergi, namun ia pergi untuk melakukan sesuatu yang anak-anaknya tidak mampu lakukan: memeriksa keadaan sungai, memastikan tidak ada bahaya, menyiapkan rute agar mereka selamat. Begitu pula orang tua, guru, pemimpin, atau siapa pun yang diberi amanah. Ada kalanya mereka pergi, diam, atau mengambil keputusan yang tidak kita pahami. Tetapi di balik itu ada upaya, rencana, dan perlindungan yang sedang disusun.

Dari kisah itu juga tampak pentingnya perencanaan. Induk bebek tidak sekadar meninggalkan anak-anaknya tanpa alasan. Ia melakukan apa yang diperlukan untuk memastikan keselamatan mereka. Dalam kehidupan manusia, perencanaan adalah bagian dari ikhtiar yang diperintahkan agama. Allah berfirman: 

﴿وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ﴾ 

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi.” (QS. Al-Anfal: 60). 

Ayat ini menunjukkan bahwa kesiapan dan perencanaan bukan sekadar pilihan, tetapi perintah.

Lebih dalam lagi, kebersamaan anak-anak bebek itu mengajarkan nilai ukhuwah. Mereka merapat, bukan berpisah. Mereka saling menguatkan, bukan saling menakut-nakuti. Dalam Islam, Allah mengingatkan: 

﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا﴾ 

“Berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali ‘Imran: 103). 

Ada kekuatan yang tak terlihat ketika hati-hati berkumpul dalam kasih sayang, sebagaimana anak-anak bebek itu bertahan karena bersama. Rasulullah SAW bersabda: 

«الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا» 

“Seorang mukmin bagi mukmin lainnya bagaikan bangunan yang satu, saling menguatkan satu sama lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kadang kita lupa bahwa yang membuat kita rapuh bukanlah ujian, tetapi kesendirian yang kita pilih. Anak-anak bebek itu selamat justru karena mereka tidak memilih untuk berjalan sendiri-sendiri. Begitu pula manusia: ada badai hidup yang hanya bisa dilewati jika kita saling merapat, saling menguatkan, dan saling menjaga.

Kisah ini mungkin terlihat biasa, namun ia menyimpan isyarat halus untuk hati manusia: jangan cepat panik, jangan tergesa-gesa menyimpulkan, jangan berburuk sangka, dan jangan cepat merasa ditinggalkan. Ada momen dalam hidup ketika “kepergian” sesaat justru adalah bentuk kasih sayang yang paling besar. Seorang ibu pergi bukan karena tidak mencintai anaknya, tetapi karena ia ingin memastikan jalan di depan aman. Seorang pemimpin mengambil jarak bukan untuk mengabaikan, tetapi untuk melihat lebih jauh agar tidak membawa umatnya pada bahaya. Dan Allah menunda jawaban doa bukan untuk menyiksa, melainkan untuk menata segala yang terbaik bagi kita.

Pada akhirnya, hati yang mempercayai Allah akan selalu menemukan ketenangan, sebagaimana anak-anak bebek itu menemukan kembali induknya. Setiap kepergian memiliki makna. Setiap jeda menyimpan rahasia. Dan setiap kesabaran membawa pulang sebuah kebaikan yang tidak pernah sia-sia. Semoga hati kita selalu merapat, tenang, dan yakin, sebagaimana keberanian kecil tiga belas anak bebek itu ketika menunggu dalam diam. Semoga kita mampu menunggu dengan percaya, berjalan dengan rencana, dan hidup dalam kebersamaan yang menguatkan. Semoga Allah menjaga langkah kita sebagaimana Ia menjaga segala makhluk-Nya.

( Red )

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)