Memilih Calon Pemimpin Yang Jujur dan Cerdas Memiliki Sikap dan Sifat Nabi

$rows[judul]

Perwirasatu.co.id-Tanjung Pasir-Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih Presiden, Pileg (Pemilihan Legislatif) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Pusat dan daerah) hingga kepala Daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati) merupakan keharusan konstitusi yang tidak bisa diubah (maju atau mundur) kecuali sudah diubah tata aturannya. Namun toh, upaya untuk meniadakan Pemilu tak kalah ramai diwacanakan oleh berbagai pihak. Karena diantaranya tidak yakin dengan hasil dari pelaksanaan Pemilu itu dilakukan dengan jujur.

Ketidakjujuran pelaksanaan Pemilu bisa saja dilakukan oleh para peserta (Calon Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota) atau kaki tangan mereka yang ingin meraih kemenangan dengan cara apapun caranya.

Perlakuan tidak jujur dalam Pemilu tahun 2024 bisa juga dilakukan oleh pihak penyelenggara (Bapilu, KPU) pada semua tingkat. Maka itu pengawasan perlu dilakukan dengan cara yang jujur dan ketat pula oleh pengawas independen yang tidak berpihak, kecuali demi dan untuk terlaksananya Pemilu dengan jujur, adil,  bebas dan rahasia.

Semangat banyak pihak untuk melaksanakan Pemilu atau pun Pilkada dan Pileg itu lantaran dalam struktur kepengurusan pejabat sebelumnya sudah harus digantikan oleh pejabat yang baru, sehingga suana segar dari tata kelola negara dan bangsa Indonesia bisa lebih baik dari kondisi sebelumnya. Apalagi bila ditengarai banyak ketidakberesan dalam upaya mewujudkan amanah dari harapan serta cita-cita rakyat kebanyakan yang patut mengacu pada janji Proklamasi seperti yang termuat dalam pembukaan UUD 1945 serta tuntunan Pancasila yang tampak semakin diabaikan.

Dalam pelaksanaan Pemilu, mereka yang hendak dipilih sebagai calon pemimpin nasional atau wakil rakyat itu patut dipahami tidak lebih penting dari rakyat - sebagai Pemilik kedaulatan - yang berhak dan patut menentukan sosok pilihannya secara jernih, jujur dan cerdas dan mempunyai karakter yang mendekati sikap dan sifat Nabi, memiliki etik profetik.

Kendati  untuk memilih sosok pemimpin di Indonesia harus dilakukan secara terpaksa - memilih calon pemimpin yang terbaik dari yang terjelek - pertanggung jawaban rakyat sebagai pemilih tidak kalah berat tanggung jawabnya jika salah dalam menentukan pilihan. Apalagi kelak, sosok pemimpin yang kita pilih itu terus mbalelo, abai pada amanah rakyat. Bisa saja dalam kondisi yang dipaksakan itu sebagai pemilih kita terpaksa menerima beragam bingkisan, sembako hingga seamplop duit, tapi yang penting bahwa pilihan terbaik atas keyakinan dan hati kita yang tulus ikhlas tetap pada pilihan terbaik yang telah menjadi ketetapan hati untuk memenangkan calon yang bersangkutan.

Sebab kelak, apa yang dilakukan oleh calon pemimpin yang menjadi pilihan kita itu, sebagai pemilih yang telah ikut memenangkannya dalam kontestasi Pemilu atau Pilkada maupun Pileg, tetap akan menjadi bagian dari tanggung jawab moral kita yang harus kita pertanggung jawabkan juga kepada  Tuhan.

Artinya, dalam soal memilih calon pemimpin itu erat kaitannya dengan tatanan etika dan moral serta akhlak kita sebagai pemilih yang harus dan mutlak memiliki pula etik profetik -jujur, obyektif, ikhlas dan sikap cerdas yang tak terpengaruh oleh promosi atau pencitraan mereka sebagai calon yang ingin melakukan tipu daya, hingga bisa membuat kita sebagai  rakyat - yang semestinya mereka urus dan mereka utamakan aspirasi maupun kepentingan kita sebagai rakyat - tidak boleh dinomorduakan. Termasuk bagi keluarga, kelompok maupun geng nepotis dan persekongkolan mereka semata. Sebab negara dan kemaslahatan bangsa Indonesia adalah tanggung jawab kita bersama.

(Tim Liputan)

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)