Perwirasatu.co.id-Banten-Menjelang Pemilu Pilpres (Pemilihan Presiden), Pileg (Pemilihan Legislatif) dan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah), mestinya menjadi masa panen bagi influencer dan buzzer, karena banyak pihak yang perlu dan penting menggunakan jasanya, utamanya untuk memperkenal sosok bakal calon yang hendak bertarung dalam Pilpres, Pileg maupun Pilkada agar dapat dikenal luas oleh masyarakat yang diharap akan menjadi pendukung dan pemilihnya dengan memberikan suara pada saat pemilihan dilaksanakan.
Dalam proses pemilihan dalam Pemilu itu tentu saja sosok para calon yang hendak menjadi kontestasi tidak cuma perlu dan penting untuk dikenal, tapi juga patut dan harus diketahui secara pasti kualitas, kapasitas dan intelektualitas hingga integritas yang bersangkutan. Dan ini semua memerlukan jasa buzzer maupun influencer yang berkualitas dan menjunjung tinggi etika, moral dan akhlak guna meyakinkan rakyat yang diharap dapat memberikan dukungan hingga suara saat Pemilu dilaksanakan. Buzzer dan influencer yang bisa menjadi bagian dari tim sukses untuk memenangkan calon yang dijagokannya itu pun bisa berfungsi sebagai pengawas, pengontrol dari proses pemilihan pada Pemilu agar tidak terjadi kecurangan. Karena itu, pemanfaatan buzzer dan influencer akan sangat tergantung pada landasan etik, moral dan akhlak siapa yang menggunakan jasa mereka.
Tak kurang tokoh sekapasitas dan sekualitas Menko Polhukam, Machfud MD, ikut meresahkan akun buzzer yang menjamur pada tahun politik 2024. (www.reoelita.net) Buzzer yang kerap dikaitkan dengan tujuan tertentu dan dibiayai oleh orang tertentu atau suatu instansi tak bisa dibuktikan. Masalahnya, mengapa ujuk-ujuk buzzer -- bahkan influencer -- mesti dianggap masalah dan perlu ditelisik siap orang yang ada dibalik buzzer itu.
Padahal, jika buzzer bisa dipahami adalah orang yang memanfaatkan akun sosial media -- miliknya atau pun milik orang lain -- untuk menyebarluaskan informasi atau mempromosikan. Iklan suatu produk atau jasa maupun gagasan dari seorang kandidat Capres, Pileg atau Pilkada agar dapat kenal, diketahui untuk kemudian dipahami hingga bisa mendapat dukungan serta meraup suara dari masyarakat pemilih dalam kontestasi politik tersebut, tidaklah salah. Artinya, keberadaan buzzer itu dah-sah saja, seperti fungsi dan tugas yang acap diemban oleh mereka yang bekerja dalam bidang jurnalistik.
Masalah dari kehadiran buzzer yang perlu dan patut diresahkan -- atau bahkan diatasi dan bila perlu dilarang -- ketika buzzer itu melakukan hoax, berita dan cerita bohong atau menyerang dan memfitnah orang lain -- seperti para jurnalis yang melabrak etik jurnalistik. Karena itu -- semua model pekerjaan harus disandarkan pada etika, moral dan akhlak, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Dalam konteks ini pula menjadi semakin relevan gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual yang berbasis pada etik profetik -- ajaran dan tuntunan para Nabi yang didapat dari langit perlu dan penting untuk disosialisasikan agar membumi dan menjadi tuntunan serta petunjuk bagi semua orang tak hanya di Indonesia, tetapi idealnya di seluruh bagian bumi ini.
Jika influencer dapat dipahami adalah seseorang atau sebuah kelompok yang memiliki media sosial dengan jumlah follower yang banyak, lalu apa bedanya dengan media mainstream yang kini mulai keok dengan kehadiran media sosial yang mempunyai harus mematuhi tatanan hukum dan perundang-undang -- tak hanya UU ITE -- tetapi juga tatanan etika dan moral serta akhlak yang tidak kebal dari sanksi hukum maupun sanksi sosial dan moral dari semua pihak yang sama, termasuk dari para followernya yang fanatik sekalipun.
Peran influencer bisa menjadi mitra yang baik dan santun, juga akan sangat tergantung kepada mereka yang ingin memanfaatkan influencer itu, guna membangun citra yang baik atau citra yang menyesatkan alias mengada-ada. Misalnya tak punya ijazah tapi mengaku punya ijazah. Tak punya prestasi tapi mengklaim sejumlah reputasi keberhasilan. Atau sebaliknya, menyerang pesaing atau lawan dengan membangun citra lawan atau pesaingnya dengan membuat image yang buruk.
Karena itu, etik profetik sebagai ajaran dan tuntunan Nabi perlu dan harus menjadi penakar perilaku influencer maupun buzzer, karena semua pertanggungjawabannya tidak cuma sebatas sosial, tapi juga moral yang berhubungan langsung dengan Tuhan. Atas dasar itulah, pekerjaan buzzer dan influencer yang semakin akan mengganas pada waktu menjelang Pemilu ini perlu ditata dengan baik oleh Kementerian Infokom, jangan cuma melarang dan membatasi, tapi sepatutnya bisa dibina dan diarahkan agar bisa maksimal berfungsi sebagai media informasi yang sehat, sebab untuk berharap banyak pada media mainstream yang semakin loyo terlindas oleh budaya IT, jelas tidak mungkin lagi mengangankan nostalgia masa lalu sudah lewat.
Jadi sikap dan rasa cemas terhadap keberadaan buzzer maupun influencer itu yang berlebihan, justru logik. Sebab yang terpenting adalah memberi landasan etika, moral dan akhlak agar mereka mau patuh dan taat pada tata aturan tidak membuat hoax. Apalagi terkait dengan lapangan pekerjaan yang tak mampu disediakan oleh pemerintah.
(Tim Liputan)
Tulis Komentar