Perwirasatu.co.id-Banten-Kami bertiga, Markenun dan Karto Glinding bisalah disebut sebagai sohib yang berhasil melampui tidak cuma sekedar jalinan perkawanan pada umumnya, karena sudah terjalin seperti ikatan persaiudaraan yang tidak tersekat. Sehingga ikatan persahabatan sejak 40 tahun silam itu, telah menguji nilai persaudaraan yang tumbuh. Semua itu berlangsung jauh sebelum belajar di perguruan tinggi, lalu berpisah karena beberapa waktu lamanya, karena asyik melakukan pengembaraan intelektual maupun spiritual sampai bertemu kembali lagi sejak beberapa tahun belakangan dalam format yang sudah agak berbeda, sekedar untuk tidak mengatakan telah berusia senja.
Masing-masing kami agaknya cukup memiliki kesadaran serta pemahaman terhadap keunikan dan kelebihan masing-masing, sekaligus dengan kekurangannya -- sebagai bagian dari kelebihan itu sendiri -- minimal dalam kesetiaan dan egosentrisme yang relatif cukup terkendali.
Itulah sebabnya dari dialog "Renungan Akhir Tahun 2023 bersama Markenun kemarin, Karto Glinding langsung muring-muring, karena tak diajak serta. Meski dia pun paham bahwa acara itu berlangsung secara spontan, toh dia tetap saja terus menyodok dengan tuduhan, bila sikap egoistik kami berdua Markenun sama saja dengan sikap arogan sebagian besar kalangan aktivis yang merasa bahwa persoalan yang tengah melantak republik ini dapat diselesaikan sendiri.
Anggaran sikap arogan seperti itu, katanya justru yang menjadi peyebab dari perjuangan untuk rakyat menjadi sulit terwujud. Karena masalah besar yang tengah dihadapi bangsa dan Negara ini, harus dihadapi bersama. Semua pihak harus yakin memiliki tanggung jawab yang sama. Sebab, tanpa ada dukungan dari berbagai pihak, tidak mungkin tidak mungkin pembenahan di republik ini bisa terwujud. Karena mereka yang tidak berperan serta justru sangat potensial menjadi penghambat dari perubahan untuk perbaikan masa depan yang diharap dapat lebih memberi kebahagian itu.
Pendek kata, ucap Karto Glinding, jangan sampai semua pihak hanya ingin mengedepankan, ide, gagasan, cara bahkan menampilkan dirinya sendiri, tanpa mengindahkan keberadaan pihak lain.
Egosentrisitas serupa ini penyebabnya tak lain, karena pemahaman dan kesadaran pada sikap arif seperti yang dikatakan Ki. Hajar Dewantoro, yaitu Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, lan tut wuri handayani, tidak pernah didalami maknanya yang hakiki.
Pendek kata, Karto Glinding marah dengan gayanya khas sebagai ekspresi dari ikatan persaudaraan kami yang sudah terjalin. Maka itu, karena merasa acara ngobrol kemarin itu dia tak diajak, dia jadi merasa berhak untuk mengungkapkan kekecewaannya sekarang ini.
Tapi itulah ekspresinya yang otentik dalam ikatan dan jalinan perkawanan antara kami yang telah memasuki dimensi persaudaraan yang sejati, maka itu keindahan dari persaudaraan kamu sungguh indah dan asyik.
Lalu untuk mengisi waktu malam peralihan tahun 2023-2024, Karto Glinding menginisiasi lalu untuk berkumpul dikediaman yang sederhana namun sungguh asri berikut garansi untuk menyediakan semua panganan kesukaan kami, termasuk minuman serta fasilitas transport, katanya seraya mengharap acara itu dapat diawali dengan acara makan malam bersama khas kampung seusai sholat isya.
Walhasil, acara menanti waktu peralihan tahun kali ini agaknya akan menjadi catatan sejarah dari persahabatan tiga serangkai. Ibarat tunggu api di dapur, antara yang satu dengan yang lain sungguh dapat saling menggenapkan.
Mungkin bukan pula suatu kebetulan, kami bertiga pun memiliki idola yang sama pada pasangan Calon Presiden Indonesia yang akan dipilih pada Pemilu tahun 2024. Jadi layak penopang periuk nasi di dapur tradisional dahulu, kami bertiga cukup kompak dan solid untuk saling menguatkan antara yang satu dengan yang lain.
Acara menyambut peralihan tahun ini pun dia rancang lebih bebas dan santai, meski tidak ada acara sate menyate atau membakar ikan.
Jadi, model atau pilihan gaya hidup Karto Glinding -- meski dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan, dia suka cara hidup yang praktis.
Apalagi dia telah mengusulkan, agar membawa serta anak dan istri, termasuk cucu dan menantu, jika mau. Pendek cerita, acara tiga serangkai bersama keluarga masing-masing ini sungguh gayeng dan asyik menjemput pagi.
Karto Glinding memang nyentrik dan unik. Perilaku dirinya yang khas itu tak sedikit pun luntur sejak masa remajanya dahulu. Namun yang tidak kalah unik dalam acara informal ini, justru sifat kekeluargaan ini, memiliki nilai tambah budaya tersendiri. Karto Glinding pun membuka kata sambutannya dengan gaya yang kocak dan formal, seakan-akan seperti sedang membuka sidang kabinet untuk membahas proyek strategis nasional. Aku pun jadi terpesona kagum dan takjub. Sebab Parto Glinding mampu menguasai forum yang beraneka ragam strata sosial dan latar belakang pendidikan serta jenjang usia yang terpaut jauh seperti dengan anak dan cucu dan para menantu yang gemeriap hadir hingga menjadi paripurna dalam suasana acara menunggu waktu pergantian tahun yang bisa disebut "murah meriah" ini.
Dalam sambutan bergaya formal ini, Karto Glinding tetap tak sampai kehilangan selera humornya yang tinggi. Bahasa ucapnya pun sangat terkesan telah dia diselaraskan dengan bahasa anak-anak yang justru lebih dominan memenuhi beranda rumahnya yang apik dan asri.
Sementara Markenun, tampak tercenung, seakan-akan sedang memikirkan hutang negara yang semakin berat dan mengerikan itu. Dia rampak mengikuti untaian kata yang diucapkan Karto Glinding dengan seksama, karena pidato Karto Glinding sungguh menarik perhatian, termasuk bagi anak-anak dan para cucu yang banyak pula mulai memasuki usia remajanya kini.
Tak luput juga Karto Glinding menggambarkan suasana politik yang semakin memanas. Dan kita jangan sampai ikut terjebak, apalagi harus menjadi korban dari persaingan tiga kandidat presiden, meskipun kami bertiga telah mempunyai satu pilihan yang sama, kata Karto Glinding yang ditimpali oleh selorohannya Markenun yang lirih hingga kurang terdengar logat Sumatra yang dibuat kental..
Karena apapun ceritanya, ksta Karto Glinding, memilih Pemimpin itu gunanya untuk mengurus rakyat agar lebih enak dan bebas dari deda dan derita. Lalu mengapa rakyat dijadikan korban, hanya untuk memilih pemimpin yang harus mengurus semua masalah dan kepentingan kita sebagai rakyat ?
Begitulah, perguliran waktu peralihan tahun pun memasuki detik-detik terakhir. Terompet pun saling bersaut-sautan dari kampung seberang, dan kembang api pun meluncur ke langit, seakan sedang menghantar tahun yang telah usang untuk kembali disimpan di langit. Jadi, pergantian tahun itu sama dengan pergantian Presiden, seperti sunnatullah yang tidak bisa dan tidak boleh dihambat oleh siapapun, termasuk oleh Presiden sendiri.
(Tim Liputan)
Tulis Komentar