Perwirasatu.co.id-Banren-Pertanyaan Bunda Wati sehubungan dengan taqwa dan ikhlas dalam Idul Qurban -dengan topik utama Nabi Ibrahim yang disuruh Tuhan untuk menyembelih anaknya yaitu Nabi Ismail sebagai qurban, memang menarik untuk menginguk juga peran Siti Hajar sebagai sang Ibu yang telah bersusah payah merawat sang anak hingga usia 13, tiba-tiba hendak dijadikan qurban sembelihan oleh Sang Ayah akibat mendapat mandat dan perintah dari Allah SWT untuk menyembelih Nabi Ismail.
Lalu pertanyaan yang romantik, mengapa peran Siti Hajar yang berjuang total membesarkan Nabi Ismail, tak jarang diinguk atau mendapat perhatian dari orang banyak, setidaknya dari sorotan seorang penulis, misalnya seperti yang dikeluhkan Bunda Wati Imhar Burhanudin selaku Komandan Aspirasi Emak-emak, itu sekedar kesalahan teknis saja, lantaran Emak-emak selalu berharap bisa dan mau ditulis oleh kaum Bapak yang memang romantis juga sebetulnya.
Alasan ini tentu saja menjadi pilihan terbaik bagi saya - sebagai lelaki tulen - untuk tidak menyalahkan Emak-emak yang ogah menuliskan sendiri kisah dibalik Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail itu dalam episode yang sama. Dan bukan pula karena peran utamanya - sebagai aktor semacam dalam film hero itu karena diperankan oleh laki-laki - saya kira tidaklah. Tapi kesalahan itu semata-mata kemalasan Emak-emak sendiri tidak mau memuluskan peran gede Siti Hajar dalam narasi cerita itu yang tidak kalah sakral dan bernuansa spiritual.
Sebetulnya hilir mudik Siti Hajar mencarikan aif untuk anaknya B.
Nabi ismail itu dahulu, pasti tidak seenak atau segampang Bunda Wati Imhar mencari air mineral kemasan setelah hilir mudik dari ujung jalan Thamrin hingga ke Bundaran BI atau Patung Kuda Arjun Wiwaha, saat aksi memperjuangkan penetapan hari libur Nasional di Indonesia pada setiap tanggal 15 Maret sejak tahun 2022 ketika PBB (United Nation) membuat resolusi Anti Islamophobia untuk seluruh dunia.
Sekedar dugaan saja bagi saya, kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam konteks Idul Qurban itu, mungkin saja karena aktornya yang lebih pantas ditonjolkan memang lelaki. Ya, mana ada yang namanya aktor itu adalah perempuan, meski peran Siti Hajar tidak kalah heroik mengikuti perjalanan hidup Nabi Ibrahim yang konon ceritanya sempat hidup sengsara di hutan belantara bersama Siti Hajar dan untuk beberapa kesempatan lama meninggalkan Siti Hajar hidup dan mencari makan sendiri di hutan.
Jadi memang sangat luar biasa, hingga Siti Hajar bisa menemukan Sumber Air minum Zam-zam yang sangat hebat khasiatnya. Jadi memang akan sangat kontroversi dengan situasi dan kondisi Emak-emak jaman sekarang. Jika ditinggal suami sebentar saja ke luar kota misalnya, urusan bisa jadi panjang masalahnya.
Kalau pun kisah Siti Hajar mau dinarasikan, ceritanya pasti tidak kalah seru dan heroik, seperti dulu saya saya pernah menulis tentang gari Ibu pada tahun 1982 dulu yang dapat inspirasi dari sosok Siti Saijah - seorang ibu yang gigih dan sabar - merawat 6 orang anaknya yang nakal dan memiliki beragam kemauan serta cita-cita. Sementara Sang Ayah hanya seorang pegawai Kotapraja yang sangat sederhana dan idealis pula. Jadi setiap kali perayaan Idul Qurban, sosok Siti Hajar sulit untuk dapat diharapkan bisa ikut tampil, jika Enak-emak Aspirasi sendiri tidak mau mulai menuliskannya sendiri.
Jadi ikhlas dan tawadhu -- penuh kasih dan sayang tak cuma pelamis bibir -- tapi harus maujud setidaknya dalam bentuk daging qurban yang bisa dinikmati kaum dhuafa tanpa pamrih - tanpa mengutamakan diri sendiri. Dan kisah kasih itu banyak meriap dalam ekspresi cinta Siti Hajar, tak hanya terhadap anaknya Nabi Ismail, tapi juga kepada Ayahnya Nabi Ismail.
Lantas, mengapa kisah Siti Hajar tidak ditulis ? Pertanyaan ini sama dan sebangun dengan mempertanyakan sosok Capres dan Cawapres. Kok nggak ada yang sekaum dengan Siti Hajar. Padahal aku selalu mendorong ketiga cucuku yang cantik untuk memahami dengan baik dan benar sanepo Mbah Buyutnya, tentang sumur, dapur, dan kasur. Karena aku tak suka tradisi dan budaya seperti itu.
(Tim Liputan)
Tulis Komentar