Komisi Informasi Provinsi Sumut Gelar Sidang Kedua Sengketa Informasi Antara Pemohon dan Kades Pidoli

$rows[judul]

Perwirasatu.co.id-Medan — Sengketa informasi antara warga dan pemerintah desa kembali menyita perhatian publik. Dalam sidang kedua yang digelar Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara, Rabu (14/5/2025), kasus antara Muhammad Amarullah dan Pemerintah Desa Pidoli Lombang, Kabupaten Mandailing Natal, memasuki babak baru yang memanaskan tensi ruang sidang.

Kepala Desa Pidoli Lombang akhirnya hadir secara langsung, didampingi kuasa hukum. Namun, alih-alih memberikan kejelasan, kehadirannya justru memantik perdebatan baru terkait keabsahan surat permintaan informasi yang dilayangkan oleh pemohon.

“Saya tidak pernah menerima surat itu, dan tidak mengenal siapa pun dalam dokumentasi yang ditunjukkan,” ujar Kepala Desa di hadapan Majelis Komisioner.

Pernyataan ini segera dibantah oleh Muhammad Amarullah yang hadir membawa bukti lengkap, termasuk dokumentasi penyerahan surat dan tanda terima yang mencantumkan identitas penerima—yang disebutnya sebagai istri dari Sekretaris Desa.

“Karena kantor desa sering kosong, surat saya antar langsung ke rumah Sekretaris Desa dan diterima oleh istrinya. Surat keberatan saya serahkan kepada aparatur desa lainnya. Semuanya saya dokumentasikan dengan foto dan bukti tertulis,” jelas Amarullah sambil memperlihatkan berkas dan bukti dokumentasi di hadapan majelis.

Tak berhenti di situ, sang Kepala Desa juga mempersoalkan bentuk surat yang dikirimkan. Menurutnya, karena surat tidak menggunakan kop resmi sebuah lembaga, maka secara administratif tidak layak diproses.

“Dalam aturan pemerintahan, hanya surat resmi yang bisa kami tanggapi. Tanpa kop, kami anggap itu tidak sah,” katanya.

Namun pernyataan ini segera diluruskan oleh salah satu anggota Majelis Komisioner. Ia menegaskan bahwa hak atas informasi publik tidak dibatasi oleh bentuk administratif surat seperti kop atau logo lembaga.

“Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyatakan bahwa setiap warga negara berhak meminta informasi, baik atas nama pribadi maupun lembaga. Sepanjang substansinya jelas dan identitas lengkap, surat tersebut sah menurut hukum,” tegas Komisioner.

Majelis mencatat adanya perbedaan keterangan antara kedua pihak sebagai bahan penting dalam tahapan pembuktian berikutnya. Sidang kemudian ditutup dengan agenda lanjutan yang dijadwalkan akan digelar dalam waktu dekat.

Kasus ini menjadi perhatian publik, bukan hanya karena menyangkut transparansi penggunaan APBDes 2024, tetapi juga karena berpotensi menjadi preseden penting bagi pelaksanaan prinsip keterbukaan informasi di tingkat desa.

Kini masyarakat menanti: apakah proses ini akan membuka tirai pengelolaan dana desa yang selama ini tertutup rapat, atau justru memperlihatkan kuatnya resistensi birokrasi terhadap pengawasan publik?

(Magrifatulloh)

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)