Keterangan Gambar : Foto edit by: Redaksi Perwirasatu.co.id - Hujan adalah anugerah yang sering kita pandang biasa. Ia turun lembut dari langit, menyentuh bumi, menghidupkan pepohonan, dan menyejukkan hati manusia. Namun pernahkah kita membayangkan jika hujan turun bukan dalam takaran, melainkan seperti Allah menumpahkan ember dari langit? Bukankah bumi akan porak poranda, tanaman tercabut, rumah-rumah hanyut, dan kehidupan musnah dalam sekejap? Itulah sebabnya, setiap tetes hujan adalah bukti kasih sayang Allah yang penuh hikmah dan keseimbangan.
Allah menurunkan hujan bukan dengan sembarangan, tetapi dengan kadar dan ukuran yang telah ditetapkan-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً بِقَدَرٍ
“Dan Kami turunkan dari langit air (hujan) menurut suatu ukuran.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 18)
Ayat ini menjadi dasar pemahaman bahwa segala ciptaan Allah berada dalam keseimbangan yang sempurna. Takaran hujan menjadi tanda bahwa kekuasaan Allah tidak hanya dalam kebesaran, tetapi juga dalam ketepatan. Bila terlalu deras, banjir melanda. Bila terlalu sedikit, kekeringan menghantam. Namun Allah menurunkan hujan sesuai dengan keperluan bumi, sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir bahwa Allah menurunkan hujan ke seluruh penjuru bumi sesuai kebutuhan masing-masing. Tidak berlebihan yang merusak tanah dan bangunan, tidak pula kekurangan yang membuat bumi tandus.
Betapa banyak manusia yang lupa bahwa hujan adalah bagian dari nikmat yang tak ternilai. Mereka hanya melihat air yang jatuh, bukan rahmat yang dibawa. Allah berfirman:
وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ ۚ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ
“Dan Dialah yang menurunkan hujan setelah mereka berputus asa, dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Pelindung yang Maha Terpuji.” (QS. Asy-Syura [42]: 28)
Setiap tetes hujan membawa kehidupan. Ia membasahi tanah yang mati, menumbuhkan biji yang tertanam, menghidupkan sungai yang kering, dan mengisi udara dengan kesejukan. Hujan bukan sekadar fenomena alam, melainkan tanda kasih sayang Allah kepada seluruh makhluk. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
لَيْسَ سَنَةٌ بِأَمْطَرَ مِنْ أُخْرَى، وَلَكِنَّ اللَّهَ يُصَرِّفُهُ كَيْفَ يَشَاءُ
"Tidak ada satu tahun yang lebih banyak hujannya daripada tahun lainnya, akan tetapi Allah membagi dan mengarahkannya sesuai kehendak-Nya." (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa distribusi hujan diatur langsung oleh Allah. Ada daerah yang mendapatkan hujan melimpah, sementara daerah lain dibiarkan kering, bukan karena kebetulan, melainkan karena hikmah di balik kehendak-Nya. Hujan menjadi ujian bagi sebagian dan rahmat bagi yang lain. Ketika banjir melanda, manusia diingatkan agar tidak sombong terhadap kekuatan alam. Saat kemarau datang, mereka diuji kesabarannya dan diajak kembali berdoa memohon turunnya rahmat dari langit.
Allah mengajarkan bahwa hujan juga memiliki peran dalam membersihkan bumi dan jiwa manusia. Hujan yang turun membasuh debu dan kotoran, sebagaimana rahmat Allah membasuh dosa-dosa hamba yang bertaubat. Rasulullah ﷺ ketika turun hujan biasa menyingkap sebagian bajunya agar terkena air hujan seraya berkata:
إِنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ
"Sesungguhnya air hujan ini baru saja turun dari Tuhannya." (HR. Muslim)
Ungkapan ini menunjukkan bahwa hujan adalah ciptaan yang membawa kesegaran spiritual. Ia baru saja dikeluarkan dari perbendaharaan rahmat Allah, bukan sekadar fenomena fisika, tetapi pancaran kasih sayang dari Sang Pencipta.
Sayangnya, manusia sering melihat hujan dari sisi keluhannya: baju basah, jalan macet, acara tertunda. Padahal, hujan adalah waktu terbaik untuk berdoa, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
ثِنْتَانِ لَا تُرَدَّانِ: الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ، وَتَحْتَ الْمَطَرِ
"Dua doa yang tidak akan ditolak: doa ketika adzan dan doa ketika hujan turun." (HR. Abu Dawud)
Waktu turunnya hujan adalah momentum emas bagi hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah. Saat langit meneteskan rahmat, bumi menerima berkah, dan hati manusia seharusnya turut meneteskan kerendahan di hadapan Tuhan.
Hujan juga mengajarkan kesabaran dan tawakal. Ia tidak selalu datang di waktu yang diinginkan manusia, tapi selalu tiba di waktu yang Allah kehendaki. Seperti rezeki, jodoh, dan takdir lainnya, hujan menjadi lambang bahwa semua yang turun dari langit pasti sudah ditetapkan dengan hikmah. Jika hujan terlalu deras, manusia diingatkan untuk waspada dan memperbaiki cara hidupnya. Bila hujan tak kunjung turun, itu tanda untuk memperbanyak istighfar, sebagaimana firman Allah:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا
"Maka aku berkata kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat’.” (QS. Nuh [71]: 10–11)
Istighfar bukan hanya menghapus dosa, tetapi juga membuka pintu langit agar rahmat hujan kembali turun. Dalam kehidupan modern yang sering mengabaikan nilai spiritual alam, manusia perlu kembali memahami bahwa hujan adalah pengingat akan ketergantungan total pada Allah. Tanpa hujan, peradaban pun akan berhenti bernafas.
Maka ketika hujan turun, pandanglah ia bukan sebagai gangguan, tetapi sebagai ayat Allah yang berbicara tanpa suara. Dengarkan ritmenya yang jatuh di atap rumah, sebab di dalamnya terkandung pesan kasih, harapan, dan kehidupan. Allah menurunkan hujan bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk mengingatkan bahwa setiap ciptaan-Nya memiliki kadar yang sempurna. Jika air pun diatur dengan takaran, maka hidup manusia pun pasti sudah ditentukan dengan keadilan dan kasih yang sama.
Hujan adalah rahmat dalam takaran. Ia bukan sekadar air dari langit, tetapi surat cinta dari Allah untuk bumi yang haus dan hati manusia yang kering dari rasa syukur. Maka ketika hujan turun, biarlah mata menatapnya dengan kagum, hati menyebut nama-Nya dengan khusyuk, dan lisan berdoa dengan penuh harap. Sebab di balik setiap tetes hujan, ada kasih Allah yang menetes bersama rahmat dan ampunan.
(Red)
Tulis Komentar