Perwirasatu.co.id-Garut- Selain akan mengajukan kembali Praperadilan terhadap penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Kejaksaan Negeri Garut terhadap kasus dugaan korupsi dana BOP dan dana Reses DPRD Garut tahun 2014-2019, kami juga akan menyampaikan laporan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) karena kerugian dalam kasus ini cukup besar sehingga Kejaksaan Negeri Garut tidak mampu menangani dan menyelesaikannya.
Kami sudah mengantongi bukti permulaan diantaranya bukti surat dan petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), nanti tinggal diperdalam oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Adapun bentuk surat sebagaimana diatur Pasal 184 ayat (1) KuHAP, dapat kita tafsirkan dengan melihat Pasal 187 KUHAP yaitu suatu berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.
Pada Putusan Praperadilan nomor 1/Pid.Pra/2024/PN Grt halaman 41-42, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Garut memberikan keterangan dimuka persidangan bahwa “korupsi yang dilakukan anggota dewan periode tahun 2014 sampai 2019 dan hal itu sedang diselidiki tapi tiba-tiba ada SP3, padahal mereka melakukan korupsi dengan dasar kualitas pekerjaan tidak sesuai sekitar tahun 2019 ada potensi kerugian negara dari BOP sebesar Rp. 40 Milyar dan Pokir Rp.140 Milyar”, seorang jaksa yang memberikan keterangan sebagai saksi tidak mungkin asal bicara, karena dia mengetahui dan sebagai pelaku dalam melakukan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi dana Reses dan dana BOP Pimpinan DPRD Garut tahun 2014-2019.
Selain bukti surat, bisa juga masuk kepada petunjuk, nantinya KPK dapat mengundang Jaksa tersebut untuk menjelaskan darimana dasar perhitungan kerugian BOP sebesar Rp. 40 Milyar dan Pokir Rp. 140 Milyar itu. Mengacu kepada Pasal 188 Ayat (2) KUHAP, alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan Terdakwa. Nah ini ada saksi dari pemeriksa (Jaksa)yang dengan terang menyebutkan adanya kerugian puluhan milyar.
Lalu berdasarkan pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan “Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung”, artinya hakim dinyatakan sebagai pejabat negara, oleh karena itu produk hukum hakim yang berupa putusan dapat menjadi alat bukti surat. Surat dikatakan memiliki nilai keabsahan apabila memenuhi beberapa kualifikasi yaitu terkait keaslian dokumen, isi sebuah dokumen, dan apakah dokumen tersebut dilaksanakan sesuai dengan isinya. Dengan demikian putusan hakim dapat sah untuk dijadikan sebagai alat bukti surat.
(Red)
Tulis Komentar