Perwirasatu.co.id-Banten-Keberadaan dari buzzer, tidak banyak berbeda dengan influencer maupun blogger. Pendapat sejumlah kalangan mampu menciptakan fenomena word of mouth -dari mulut ke mulut di media sosial -sebagai sarana promosi. Dengan memanfaatkan media sosial untuk membangun pengertian, pemahaman dan kesadaran konsumen tentang suatu produk - tidak hanya sebatas barang - agar dikonsumsi oleh pemirsa.
Jadi buzzer, influencer maupun blogger merupakan jenis pekerjaan yang bersifat profesional juga. Hingga bagaimana cara mengelolanya agar dapat menjadi pekerjaan yang profesional agar menjadi bidang pekerjaan yang menghasilkan uang, itu akan sangat tergantung pada tim kerja yang mampu mereka bangun bersama.
Seperti pekerjaan seorang Influencer yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain -- sebagai pemirsa -- dalam bidang tertentu, seperti penyajian tentang profil tokoh, perusahaan atau instansi untuk lebih dikenal oleh orang banyak. Termasuk calon legislatif dan eksekutif mulai dari tingkat pusat hingga tingkat daerah.
Adapun kerja seorang blogger adalah orang yang bisa mengelola blog yang dapat digunakan untuk melakukan review -- tao banyak beda dengan buzzer dan influencer untuk memperkenalkan suatu produk atau mempromosikan seorang tokoh, atau pemikiran dan gagasannya atau suatu usulan yang perlu untuk diketahui oleh orang banyak.
Semua wilayah jelajah mereka itu -- buzzer, influencer atau pun blogger bahkan jurnalis warga atau mereka yang menekuni media sosial berbasis internet -- juga memiliki kaitan yang erat dengan UU ITE seperti yang harus ditaati juga oleh insan pers umum. Karenanya, etik profesi jurnalistik pun harus dapat dijadikan acuan seperti untuk kawan-kawan yang menekuni pengelolaan media sosial yang berbasis internet.
Masalah bagi para buzzer, influencer, blogger serta pengelola media sosial berbasis internet adalah, bagaimana cara dan upaya untuk menjadikan masing-masing pekerjaannya itu bisa menjadi bidang pekerjaan profesional yang mampu juga mendatangkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Setidaknya sebagai bagian dari lapangan pekerjaan yang relatif baru - seperti grab dan gojek -- idealnya pemerintah segera memiliki inisiatif agar keikutsertaan mereka dalam meringankan beban pemerintah dalam mengatasi masalah kelangkaan lapangan kerja dapat memberi manfaat kepada semua pihak. Utamanya bagi pemerintah yang klimpungan untuk menciptakan lapangan kerja baru bari mereka yang belum memiliki pekerjaan, alias pengangguran di Indonesia.
Pekerjaan buzzer, influencer maupun blogger serta pekerja media sosial yang sangat besar potensinya di negeri kita ini, semakin nyata perlu adanya langkah nyata dari Kementerian Infokom dan Kemenaker membuat program pembinaan, arahan terhadap mereka sebagai pekerja yang sangat kreatif menciptakan lapangan kerja baru, agar dapat memberi nilai tambah yang positif bagi bangsa dan negara yang harus segera memasuki peradaban dunia baru yang makin menantang.
Setidaknya, arahan dan pembinaan dasar berupa etik profetik bagi para buzzer, influencer, blogger maupun jurnalis warga atau mereka yang asyik mengelola media sosial berbasis internet, tidak sampai menjadi korban santetan UU IT yang telah menelan banyak korban masuk penjara. Dan arus hoax yang deras pun bisa semakin ditekan penampilannya yang bringas. Hanya dengan cara itu, agaknya pemerintah tidak lagi perlu sibuk melakukan penertiban terhadap arus media sosial pada umumnya yang dominan masih sangat liar menebar hoax. Jadi semangat dan birahi pemerintah untuk melarang atau membrangus penampilan media berbasis internet itu, tidak perlu dilakukan, asalkan pembinaan bisa dilakukan dengan cara yang lebih baik dan cara yang lebih beradab.
(Tim Liputan)
Tulis Komentar