Keterangan Gambar : Gugatan dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilayangkan Gerakan Literasi Masyarakat Perjuangkan Keadilan (GLMPK) terhadap PT Ultimate Noble Indonesia (PT UNI) dan PT Silver Skyline Indonesia (PT SSI) memasuki babak baru.
Perwirasatu.co.id - Garut.
Gugatan dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilayangkan Gerakan Literasi Masyarakat Perjuangkan Keadilan (GLMPK) terhadap PT Ultimate Noble Indonesia (PT UNI) dan PT Silver Skyline Indonesia (PT SSI) memasuki babak baru.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Garut menolak eksepsi kedua perusahaan terkait kewenangan absolut dan kewenangan relatif. Putusan sela tersebut disampaikan melalui sistem e-Court pada Senin, 22 Desember 2025. Dengan ditolaknya eksepsi tersebut, perkara berlanjut ke tahap pemeriksaan pokok perkara dengan agenda pembuktian yang dijadwalkan pada 8 Januari 2026.
Kuasa Hukum GLMPK, Asep Muhidin, S.H., M.H., menjelaskan bahwa gugatan yang saat ini berjalan merupakan gugatan kedua. Gugatan pertama, menurutnya, telah diprediksi akan kandas karena turut menggugat pihak eksekutif sehingga seharusnya diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Kami sudah memprediksi kekalahan pada gugatan pertama. Namun sejak awal kami meyakini bahwa PT UNI dan PT SSI diduga kuat telah melakukan operasional sebelum memiliki adendum perizinan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” ujar Asep Muhidin, Rabu (24/12/2025).
Asep menegaskan bahwa gugatan PMH yang diajukan ke PN Garut tidak menggugat produk adendum pemerintah, melainkan aktivitas operasional perusahaan yang dilakukan sebelum adendum diterbitkan.
“Yang kami gugat adalah operasional perusahaan sebelum ada adendum. Jadi bukan produk pemerintah yang digugat, melainkan aktivitas perusahaan yang diduga melanggar ketentuan hukum,” tegasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa selama ini pihak perusahaan mengklaim telah mengantongi perizinan lengkap. Namun setelah dilakukan penelusuran melalui situs resmi kementerian, izin tersebut tidak ditemukan.
“Pernyataan klaim boleh saja disampaikan, tetapi memiliki konsekuensi hukum. Hingga kini, para tergugat belum pernah menunjukkan dokumen Amdal dari KLHK sebagaimana klaim mereka kepada publik,” katanya.
Objek gugatan PMH, lanjut Asep, berkaitan dengan aktivitas dua perusahaan yang memiliki direktur yang sama dan melakukan operasional di lokasi yang sama, namun dengan izin yang berbeda. Kondisi tersebut, menurutnya, mewajibkan adanya adendum izin lingkungan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 23 Tahun 2018.
“Secara sederhana, izin diajukan atas satu nama perusahaan, tetapi yang beroperasi justru perusahaan lain di lokasi yang sama. Ini yang kami persoalkan, karena seharusnya ada adendum izin,” jelasnya.
Selain dugaan pelanggaran perizinan, Asep menyebut aktivitas kedua perusahaan juga diduga menimbulkan dampak lingkungan berupa banjir disertai material tanah, lumpur, dan bebatuan ke permukiman warga sekitar.
“Hal tersebut juga diakui oleh Kepala Desa Mekarsari, Kecamatan Cibatu, bahwa pernah terjadi banjir lumpur di sekitar kawasan perusahaan,” ungkapnya.
GLMPK juga menilai para tergugat telah melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, yang mewajibkan setiap usaha berdampak penting terhadap lingkungan untuk memiliki Amdal dan melakukan perubahan izin jika terdapat perubahan kegiatan.
Perkara ini kini menunggu tahap pembuktian di PN Garut sebagai bagian dari pemeriksaan pokok perkara.
(Tim)
Tulis Komentar