![$rows[judul]](https://perwirasatu.co.id/asset/foto_berita/IMG-20250524-WA0019.jpg)
Perwirasatu.co.id-Jakarta – Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, gugatan diajukan oleh advokat Syamsul Jahidin dan teregister dengan Nomor Perkara 76/PUU-XXIII/2025.
Objek permohonan yang diuji adalah Pasal 16 ayat (1) huruf l serta ayat (2) huruf c. Dalam sidang perdana yang digelar pada Kamis, 22 Mei 2025, MK mulai memeriksa permohonan pengujian materil atas pasal-pasal tersebut. Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Enny Nurbaningsih.
Syamsul dalam permohonannya menilai, frasa dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l yang menyebutkan, “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”, memiliki tafsir yang terlalu luas dan rentan disalahgunakan. Ia mengkhawatirkan ketentuan tersebut menjadi celah bagi tindakan aparat yang lepas dari prosedur hukum baku.
Lebih lanjut, Pasal 16 ayat (2) huruf c yang berbunyi, “harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya”, menurut Syamsul, memuat unsur penilaian subjektif. Hal itu dikhawatirkan dapat membuka ruang pembenaran atas tindakan aparat yang tidak profesional maupun tidak proporsional.
“Pasal ini dapat menimbulkan chilling effect atau ketakutan masyarakat atas kondisi ambigu dalam perundangan,” ujar Syamsul dalam persidangan, dikutip dari situs resmi MK.
Ia menambahkan bahwa norma tersebut memberi ruang subjektivitas tanpa kontrol objektif, dan dapat memicu praktik otoritarianisme, kurangnya transparansi, serta tindakan koersif yang hanya dibenarkan dari sudut pandang institusi kepolisian sendiri.
Tak hanya Pasal 16, Syamsul bersama seorang anggota Bhayangkari bernama Ernawati juga menggugat Pasal 11 ayat (2) UU 2/2002 melalui perkara terpisah bernomor 78/PUU-XXIII/2025. Pasal ini berkaitan dengan prosedur pengangkatan dan pemberhentian Kapolri oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Mereka menilai seharusnya penjelasan norma tersebut dicantumkan secara eksplisit di batang tubuh undang-undang, bukan sekadar dalam penjelasan.
Dalam menanggapi gugatan tersebut, Hakim Enny Nurbaningsih menyarankan agar pemohon lebih memahami substansi UU Kepolisian dan mengelaborasi hubungan antara pasal-pasal yang digugat dengan hak konstitusional yang diduga dilanggar.
“Lihat buku saku hak konstitusional yang diberikan UUD 1945 yang menurut Pemohon dirugikan, karena norma ini bicara tentang kepolisian,” ujar Enny di ruang sidang.
Sementara itu, Hakim Anwar Usman menyebut sebaiknya permohonan tersebut dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan MK. Meski begitu, majelis tetap memberikan waktu hingga 4 Juni 2025 bagi para pemohon untuk menyempurnakan permohonan mereka.
“Elaborasi lagi pasal yang diujikan ini dengan hak konstitusionalnya,” tegas Anwar.
Proses persidangan masih berlanjut, dan publik menanti apakah MK akan mengabulkan pengujian ini demi memperjelas batas-batas kewenangan aparat penegak hukum di Indonesia.
(Red)
Tulis Komentar