Perwirasatu.co.id-Ponorogo- Sebuah ironi besar sedang menyelimuti dunia pendidikan di Ponorogo, Jawa Timur. Ketika siswa-siswi berjuang meraih masa depan lewat bangku sekolah, justru sang kepala sekolah diduga menyimpangkan harapan itu ke arah yang mengejutkan.
Syamhudi Arifin, Kepala SMK PGRI 2 Ponorogo, resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Setelah lebih dari lima bulan penyelidikan sejak November 2024, Kejaksaan Negeri (Kejari) Ponorogo akhirnya mengungkap bobroknya pengelolaan dana publik di institusi pendidikan ini.
“Hari ini kita naikkan status dari saksi menjadi tersangka,” ungkap Kasie Intel Kejari Ponorogo, Agung Riyadi, Senin (28/4/2025). Ia menyebut, kerugian negara dalam kasus ini ditaksir mencapai Rp25 miliar — jumlah fantastis yang mencederai kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan.
Lebih menyedihkan lagi, dana BOS yang semestinya digunakan untuk kegiatan belajar mengajar diduga digunakan untuk membeli kendaraan mewah: 11 unit bus pariwisata, 1 unit Mitsubishi Pajero, dan 3 unit Toyota Avanza. Alih-alih mengalir ke ruang kelas atau pelatihan siswa, uang tersebut menggelinding di atas roda-roda mahal yang kini telah disita oleh kejaksaan.
Investigasi awal menunjukkan praktik ini bukan kejadian seumur jagung. Aksi penyalahgunaan dana diduga telah berlangsung sejak tahun 2019 hingga 2024. Selama lima tahun, pengelolaan dana BOS diduga dijadikan ladang untuk memenuhi ambisi pribadi atau proyek-proyek tanpa dasar pendidikan.
Meski begitu, menurut Kejari, selama pemeriksaan berlangsung, Syamhudi bersikap kooperatif. Kini, ia ditahan di Rutan Kelas IIB Ponorogo selama 20 hari ke depan sembari menunggu proses hukum berjalan. Syamhudi dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang memuat ancaman hukuman hingga 20 tahun penjara.
Skandal ini sontak membuat publik Ponorogo terkejut dan kecewa. Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi benteng moral dan intelektual generasi muda justru tercoreng oleh perilaku oknum di dalamnya.
“Masih terus kita lakukan penyidikan. Kalau ada tersangka lain, tentu akan kita sampaikan ke publik,” ujar Agung Riyadi, membuka kemungkinan kasus ini tak berhenti di satu nama saja.
Kini, pertanyaan yang menggantung di benak masyarakat bukan hanya tentang siapa lagi yang terlibat, tapi bagaimana dana BOS "tulang punggung operasional pendidikan" bisa sedemikian longgar pengawasannya hingga bisa diselewengkan dalam skala sebesar ini.
Kasus Syamhudi menjadi cermin buram tentang perlunya sistem pengawasan dana pendidikan yang lebih ketat dan transparan. Sebab pendidikan bukan hanya soal membangun sekolah atau menyediakan sarana, tapi juga menjaga integritas mereka yang diberi amanah untuk mengelolanya.
(Tim Redaksi)
Tulis Komentar