Perwirasatu.co.id-Serang, Banten – Salah satu indikator tata kelola pemerintahan yang baik adalah keterbukaan informasi publik yang akurat dan akuntabel. Namun, praktik di lapangan sering kali bertolak belakang dengan idealisme tersebut. Hal ini tercermin dalam sidang sengketa informasi publik di Komisi Informasi (KI) Provinsi Banten, di mana pengaduan masyarakat terkait transparansi anggaran dinyatakan kadaluarsa.
Pada Rabu, 26 Februari 2025, sidang di KI Banten membahas pengaduan terkait keterbukaan informasi publik atas belanja jasa iklan/reklame, film, dan pemotretan di Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKPP) Kota Tangerang Selatan dengan anggaran Rp90 juta tahun 2023. Pemohon, Alfi Syahri, mengungkapkan bahwa permintaan informasi telah diajukan sebanyak tiga kali kepada dinas terkait, tetapi tidak mendapatkan respons.
“Kami sebagai masyarakat yang membutuhkan keterbukaan informasi publik telah diabaikan oleh DKPP Kota Tangerang Selatan. Kami pun akhirnya melayangkan sengketa ke Komisi Informasi Banten. Namun, sangat disayangkan, pihak termohon tidak hadir dalam sidang, dan yang lebih mengecewakan, majelis sidang memutuskan bahwa pengaduan kami kadaluarsa,” ujar Alfi Syahri, Senin, 3 Maret 2025.
Keputusan majelis sidang didasarkan pada Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik. Namun, keputusan ini menuai kritik karena dinilai menganulir Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang seharusnya memiliki kedudukan lebih tinggi dalam hierarki hukum.
"Apakah mungkin peraturan sebuah lembaga dapat membatalkan undang-undang? Ini menjadi preseden buruk bagi keterbukaan informasi publik," lanjut Alfi.
Sidang juga ditunda tanpa kejelasan waktu, sementara pihak DKPP Kota Tangerang Selatan belum menunjukkan niat hadir untuk memberikan penjelasan. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan besar: Bagaimana kelanjutan proses jika pihak termohon terus menghindari sidang?
Fenomena ini semakin mempertegas kritik terhadap minimnya komitmen pemerintah daerah dalam menjalankan keterbukaan informasi publik. Meskipun telah dibentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) berdasarkan Permendagri No. 35 Tahun 2010, implementasinya masih jauh dari harapan. Banyak laporan pengaduan yang "menguap" tanpa kejelasan keputusan.
Ironisnya, aparatur sipil negara (ASN) yang digaji dari pajak rakyat sering kali tidak memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat. "Logikanya, gaji mereka dari pajak rakyat, tetapi mengapa rakyat sulit mendapatkan hak atas informasi?" keluh Alfi.
Kasus di KI Banten ini mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap hak masyarakat atas informasi publik. Keputusan yang menyatakan pengaduan "kadaluarsa" justru berpotensi melemahkan semangat keterbukaan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh pemerintah.
Jika praktik seperti ini terus terjadi, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik hanya akan menjadi "macan kertas" yang tak memiliki daya untuk menegakkan transparansi.
Sebagai pembayar pajak, masyarakat berhak mendapatkan informasi terkait penggunaan anggaran daerah. Jika pemerintah daerah dan lembaga terkait tidak serius menegakkan keterbukaan, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah akan semakin terkikis.
Kini, semua mata tertuju pada Komisi Informasi Banten dan DKPP Kota Tangerang Selatan. Akankah transparansi benar-benar ditegakkan, atau justru terus menjadi janji tanpa realisasi?
Di tempat terpisah, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI), Wilson Lalengke, menilai bahwa pernyataan Komisi Informasi Banten yang mengatakan sengketa informasi publik yang diajukan warga sudah kadaluwarsa menupakan sebuah permainan oknum pemerintahan setempat untuk menutup-nutupi kebobrokan pengelolaan anggaran negara. Menurutnya, hanya ada dua macam informasi yang dikenal dalam UU KIP, yakni informasi publik dan informasi yang dikecualikan.
“Tidak ada itu informasi yang kadaluwarsa yang menyebabkan sengketa informasi publik bisa dianggap sudah expire dan boleh dianulir. Memang susah maju bangsa ini jika orang-orang yang menjadi pengelola negara berotak sampah semua. Orang-orang yang tidak bermoral dan menghindar dari tanggung jawab ketika telah melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya. Mereka saling memback-up satu dengan lainnya, termasuk unit satu dengan unit lainnya di lingkaran pemerintahan. Mereka mainkan dagelan kotor untuk mengelabui publik,” ujar Wilson Lalengke yang dikenal getol memperjuangkan hak-hak masyarakat terhadap informasi terkait penggunaan uang rakyat, Senin, 3 Maret 2025.
(TIM/Red)
Tulis Komentar