Solusi Ketika Pasutri Merasa Belum PuasNamun ketika rasa “belum puas” muncul, hati mulai diuji: apakah tetap menjaga yang halal atau tergelincir pada sesuatu yang dilarang? Di sinilah doa, iman, dan pemahaman tentang keberkahan hubungan halal berperan besar menjaga kehormatan rumah tangga.

$rows[judul]Keterangan Gambar : Ketika suami atau istri merasa “tidak puas”, maka masalahnya bukan pada pasangan, tetapi pada hatinya yang kehilangan rasa cukup. Doa yang diajarkan Nabi ? adalah terapi hati, penyejuk dada, dan pengingat bahwa yang halal itu diberkahi, sedangkan yang haram hanya membawa petaka meskipun nampak indah di awal.


Perwirasatu.co.id - Dalam perjalanan rumah tangga, setiap pasangan pasti merindukan ketenangan, kecukupan, dan ketulusan cinta yang saling menguatkan. Namun ketika rasa “belum puas” muncul, hati mulai diuji: apakah tetap menjaga yang halal atau tergelincir pada sesuatu yang dilarang? Di sinilah doa, iman, dan pemahaman tentang keberkahan hubungan halal berperan besar menjaga kehormatan rumah tangga.

Dalam kehidupan rumah tangga, ujian terbesar sering kali bukan pada kekurangan, melainkan pada rasa tidak pernah merasa cukup. Banyak pasangan diuji bukan karena pasangan mereka buruk, tetapi karena syahwat manusia selalu ingin memaksa hati untuk mencari lebih dari apa yang telah Allah halalkan. Padahal Allah telah menyiapkan jalan halal yang penuh keberkahan, yang apabila dijaga dengan ilmu, iman, dan akhlak, maka hubungan suami-istri menjadi pintu ketenangan, bukan pintu godaan. Karena itu, para ulama menekankan bahwa rasa puas bukan sekadar perkara fisik, tetapi perkara batin: sejauh mana hati mampu menerima, bersyukur, dan memohon kecukupan dari Allah. Rasulullah ﷺ mengajarkan sebuah doa yang sangat penting untuk menjaga kehormatan diri, khususnya dalam perkara hubungan suami-istri yang sering kali menjadi celah munculnya perselingkuhan dan ketergelinciran. Beliau bersabda dalam doa yang mulia:

اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Allahumma ikfinī biḥalālika ‘an ḥarāmika wa aghninī bi faḍlika ‘amman siwāk.

“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu sehingga aku tidak bergantung kepada selain-Mu.” (HR. Ahmad no. 1319, Tirmidzi no. 3563)

Doa ini bukan sekadar permohonan, tetapi pernyataan kebutuhan mendasar manusia: bahwa syahwat harus diikat dengan ketakwaan. Bahwa kecukupan adalah anugerah Allah, bukan hasil dari mengejar sesuatu yang tidak halal. Dalam konteks rumah tangga, doa ini menjadi tameng agar hati tidak mudah goyah ketika melihat kekurangan pasangan. Sebab manusia selalu memiliki kekurangan, dan hanya hati yang dijaga Allah-lah yang mampu melihat kekuatan pasangannya, bukan kelemahannya. Ketika seseorang merasa “tidak puas” dengan pasangannya, maka ia perlu bertanya pada dirinya sendiri: apakah ketidakpuasan itu lahir dari hawa nafsu atau dari kurangnya rasa syukur? Sebab Allah telah memperingatkan dalam Al-Qur’an:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا

Huwa alladzī khalaqakum min nafsin wāḥidah wa ja‘ala minhā zawjahā

“Dialah yang menciptakan kalian dari satu jiwa, lalu menjadikan darinya pasangannya.” (QS. Al-A‘raf: 189)

Ayat ini mengingatkan bahwa pasangan kita adalah bagian dari takdir yang Allah tetapkan. Jika ada kekurangan pada pasangan, maka itu juga merupakan bagian dari ujian agar kita belajar bersabar, memperbaiki diri, dan saling menutupi kekurangan. Bukan untuk mencari pelarian. Ketika syahwat mempengaruhi keputusan, maka setan membisikkan bahwa di luar sana selalu ada yang “lebih baik”. Namun Allah memperingatkan:

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ

Wa lā tatamannaw mā faḍḍalallāhu bihī ba‘ḍakum ‘alā ba‘ḍ

“Dan janganlah kalian menginginkan apa yang Allah lebihkan untuk sebagian kalian atas sebagian yang lain.” (QS. An-Nisa: 32)

Ketika seseorang menuntut kesempurnaan dari pasangan, pada saat itu ia sedang menuntut sesuatu yang tidak Allah ciptakan pada manusia. Hanya Allah yang Maha Sempurna. Dan hanya Allah pula yang mampu memberi rasa cukup dalam dada. Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Laysa al-ghina ‘an katsrati al-‘araḍ walākinna al-ghina ghina an-nafs

“Kekayaan (kecukupan) itu bukan karena banyaknya harta, tetapi kecukupan itu adalah kayanya hati.” (HR. Bukhari Muslim)

Dalam kehidupan suami-istri, hadis ini sangat relevan. Kecukupan bukan soal kecantikan, kemolekan, kemampuan, atau performa. Kecukupan adalah rasa tenang dan syukur bahwa apa yang Allah halalkan lebih dari cukup untuk membahagiakan. Ketika suami atau istri merasa “tidak puas”, maka masalahnya bukan pada pasangan, tetapi pada hatinya yang kehilangan rasa cukup. Doa yang diajarkan Nabi ﷺ adalah terapi hati, penyejuk dada, dan pengingat bahwa yang halal itu diberkahi, sedangkan yang haram hanya membawa petaka meskipun nampak indah di awal.

Perselingkuhan, baik fisik maupun emosional, hampir selalu dimulai dari bisikan kecil: “Aku merasa kurang.” Padahal Allah menjanjikan keberkahan besar bagi mereka yang menjaga kesucian rumah tangga. Allah berfirman:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ

Walladzīna hum lifurūjihim ḥāfiẓūn

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka.” (QS. Al-Mu’minun: 5)

Ayat ini menegaskan bahwa penjagaan diri adalah bentuk ibadah. Ketika suami menjaga diri dari godaan, itu ibadah. Ketika istri menjaga diri dari godaan, itu ibadah. Ketika keduanya saling menutup pintu setan, maka rumah tangga itu dijaga oleh malaikat. Namun penjagaan itu tidak akan cukup tanpa hati yang merasa cukup. Karena itu, doa kecukupan ini layak dibaca setiap hari, terutama ketika rumah tangga sedang diuji.

Doa ini bukan sekadar permohonan untuk dijauhkan dari yang haram, tetapi permohonan agar hati tidak lagi punya ketertarikan terhadap apa pun selain karunia Allah. Ketika seseorang merasakan bahwa kecukupan hanya datang dari Allah, maka ia tidak akan lagi mencari pengakuan, kemesraan, atau kenikmatan di luar yang Allah halalkan. Ia tidak akan mudah goyah oleh godaan visual, perhatian dari luar, atau bisikan bahwa ada seseorang yang “lebih baik” daripada pasangannya.

Doa ini harus disertai dengan usaha nyata: membangun komunikasi, memahami kebutuhan pasangan, memperbaiki diri, saling menguatkan, dan memperbanyak ungkapan kasih sayang. Tidak ada pasangan yang sempurna, tetapi pasangan yang saling melengkapi akan bisa menjadi sempurna di mata Allah. Ketika pasutri menjaga hubungan halal dengan ketakwaan, maka Allah akan menurunkan sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang). Itulah kecukupan hakiki yang hanya bisa diberikan oleh-Nya.

Semoga setiap rumah tangga dikokohkan oleh kecukupan dari Allah, dijaga dari godaan yang haram, dan diberkahi dengan ketenangan dalam hubungan halal yang penuh cinta dan ibadah. Aamiin.

Editor: Bro Tommy 

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)