Surat Terbuka Wilson Lalengke Ketua PPW untuk Kapolri Terkait Kriminalisasi Wartawan

$rows[judul]

Perwirasatu.co.id-Jakarta - Kepada Yth. Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Bapak Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Jakarta. Dari beberapa teori yang saya pelajari dan diskusi yang saya simak selama ini terkait proses hukum atas wartawan Indragiri Hilir, Rosmely, oleh Polres setempat, berikut ini argumentasi saya untuk menyatakan tidak-sahnya penetapan tersangka dan penahanan Rosmely. Saya sangat berharap Yang Terhormat Bapak Kapolri mencermatinya dengan baik dan seksama, dengan hati yang jernih dan tidak berpihak, kecuali kepada kepentingan rakyat, sebagaimana pesan Bapak Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu.

Saya melihat adanya kesalahan prosedur yang dilakukan aparat Kepolisian Resort Indragiri Hilir (Polres Inhil) dalam menerapkan aturan hukum, karena dalam kasus Rosmely pada intinya terkait bidang kerja-kerja pers yang melibatkan media, pemberitaan, dan pemberian imbalan atas hasil kerja (lihat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945). Oleh karena itu, yang harus digunakan dalam proses penyelesaian kasusnya adalah UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang di dalamnya mengatur soal larangan wartawan menerima imbalan.

Pasal 7 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers terkait organisasi wartawan dan ketentuan menaati Kode Etik Jurnalistik, berbunyi sebagai berikut: ayat (1) ‘Wartawan bebas memilih organisasi wartawan’; dan ayat (2) ‘Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik’, sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 ayat (14) yang mencantumkan ‘Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.

Salah satu poin dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yakni Pasal 6 disebutkan: Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Sedangkan suap dimaknai segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Sementara itu, di internal organisasi PPWI tempat Rosmely bernaung dikenal 10 Kode Etik Pewarta Warga PPWI. Pada poin 3 disebutkan bahwa Pewarta Warga tidak diperkenankan menerima imbalan yang dapat mempengaruhi obyektivitas beritanya.

Kasus yang menimpa Rosmely itu, jikapun harus dipersoalkan, adalah masuk kategori pelangggan Kode Etik Jurnalistik (Pasal 6) dan Kode Etik Pewarta Warga PPWI (Poin 3). Pelanggaran kode etik akan diproses oleh dewan kehormatan atau dewan kode etik di organisasi pers tempat yang bersangkutan bernaung. Di dewan kode etik tersebut akan dinilai dan dianalisis, apakah penerimaan imbalan oleh Rosmely akan mempengaruhi independensi dan obyektivitas beritanya?

Selanjutnya, Pasal 8 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers menyatakan: ‘Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum’. Apa yang dilakukan Rosmely adalah sebuah persitiwa transaksi professional. Ada proses negosiasi dan setuju-menyetujui di sana. Para pihak pun sudah melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagaimana dalam ‘kontrak’ yang mereka setujui. Lalu, mengapa Rosmely (dan wartawan Indra yang menemaninya) tidak dilindungi oleh aparat penegak hukum?

Proses yang dilakukan aparat ladusing alias wercok di Polres Inhil, oleh karena itu, harus dianggap cacat hukum. Keterangan ahli pidana, Erdianto Efendi, yang digunakan penyidik semestinya dikesampingkan, karena harus mengacu kepada UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang bersifat _lex specialis derogat legi generali_. Polisi telah bekerja tidak professional, tidak netral, tidak berimbang, hanya berpihak kepada pelapor, dalam memproses kasus Rosmely itu. Semestinya, mereka menghadirkan ahli, baik pidana maupun pers, dari kedua belah pihak, yakni dari sisi pelapor dan terlapor.

Unsur keterlibatan pihak lain, yakni 8 organisasi pers (Persatuan Wartawan Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, Ikatan Wartawan Online, Serikat Media Siber Indonesia, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Perkumpulan Jurnalis Indonesia Demokrasi, dan Forum Komunikasi Wartawan Inhil) dan Kepala Dinas Kominfo, dalam kasus ini sangat kuat. Kedelapan organisasi pecundang yang menunggangi Kapolres Inhil, AKBP Budi Setiawan, S.I.K., itu telah berperan aktif mengintervensi pelapor dan kepolisian dalam memproses hukum wartawan Rosmely.

Motifnya adalah kecemburuan sosial atas kehadiran organisasi PPWI di Indragiri Hilir yang baru saja dideklarasikan pada awal Agustus 2024. Sepak terjang PPWI yang tegak lurus pada kejujuran dan kebenaran serta keberpihakan mutlak kepada publik menjadikan delapan dedengkot mafia pers, yang selama ini berkomplot dengan para penggarong uang rakyat di dinas-dinas dan kantor-kantor pemerintah serta pengusaha nakal di Inhil, tersebut menjadi ketar-ketir.

Sementara itu, Kepala dinas Kominfo Indragiri Hilir, Trio Beni, merupakan pejabat yang sedang disorot oleh PPWI Inhil yang hingga saat ini belum dapat memberikan jawaban atas Permohonan Informasi Publik yang diajukan Ketua DPC PPWI Inhil, Rosmely, kepada Dinas Kominfo tersebut terkait penggunaan anggaran kerja sama media dan publikasi tahun 2023 dan 2024. Untuk menghindari pengusutan lebih lanjut dugaan korupsi yang dilakukan Kadis Trio Beni itulah maka yang bersangkutan diduga kuat cawe-cawe mengintervensi bahkan mendorong (baca: memaksakan) proses hukum terhadap Rosmely, yang notabene adalah pemohon Informasi Publik ke Dinas Kominfo itu.

Caranya? Trio Beni beberapa waktu lalu berangkat ke Jakarta untuk meminta fatwa ahli pers abal-abal dari Dewan Pers, bernama Hendrayana, yang pada intinya mencari pembenaran bahwa berita yang dibuat Rosmely atas persetujuan pelapor (dedengkot pungli Saruji) dianggap tidak layak dibayar, yang akibatnya dianggap sebagai penipuan. Jika hal ini benar adanya, betapa licik dan jahatnya manusia ini, yang tidak layak diberi ruang sebagai pelayan publik yang digaji oleh rakyat.

Berikutnya, pelapor bernama Saruji adalah terlapor dugaan Tindak Pidana Pungutan Liar yang sedang diproses oleh aparat terkait, yakni oleh Tim Saber Pungli yang diketuai Wakapolres Inhil. Berdasarkan fakta itu, aroma tarik-menarik kepentingan di antara para pihak terkait sangat menyengat. Pelapor adalah Kepala SMPN 01 Tembilahan Hulu yang dilaporkan Rosmely atas dugaan melakukan tindak pidana pungutan liar di sekolahnya dengan modus penjualan pakaian seragam sekolah dengan harga yang tidak wajar.

Salah satu anggota keluarga Saruji adalah aparat penegak hukum yang bertugas di Polres Inhil. Saya tidak ingin menduga lebih jauh, namun semua orang pasti dengan mudah berasumsi ‘adanya orang dalam’ di kasus tersebut menyebabkan sesuatu yang tidak semestinya terjadi menjadi sangat mungkin.

Pelapor Saruji saat ini menghadapi 3 laporan terkait sifat dan perilakunya sebagai dedengkot pungutan liar atau Pungli Dunia Pendidikan Inhil. Selain dilaporkan dalam kasus dugaan pungli ke Tim Saber Pungli, Saruji juga telah dilaporkan oleh wartawan Indra, yang adalah korban pungli Saruji karena anaknya sekolah di SMPN 01 Tembilahan Hulu, ke PTSP Kejaksaan Negeri Inhil. Indra merasa dirugikan atas perbuatan pungli Kepsek tersebut. Laporan ketiga dilayangkan PPWI Inhil ke Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polres Inhil dengan terlapor Saruji atas dugaan melakukan tindak pidana Pungli, Penyalahgunaan Wewenang dan Gratifikasi.

Sekarang, saya meminta dengan sangat hormat, agar kiranya Bapak Kapolri berkenan melakukan examinasi atas pelaksanaan proses hukum yang dilakukan Polres Inhil terhadap Ketua DPC PPWI Indragiri Hilir, Rosmely. Jika pun, Bapak Kapolri mempunyai pendapat lain, saya sangat berharap agar kasus ini tidak berakibat buruk bagi dunia pers Indonesia.

Pasal 27 ayat (2) UUD tahun 1945 yang saya sebutkan terdahulu menyatakan bahwa ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Saya dan PPWI menjauhi sejauh-jauhnya kebiasaan jual-beli berita dan atau informasi seperti yang dilakukan para wartawan selama ini. Namun apakah uang 3 juta rupiah yang diberikan Saruji dengan sukarela kepada Rosmely, akan menjadikan wartawan ini kaya raya seperti para koruptor di PT. Timah dan para garong uang rakyat di kantor-kantor pemerintah dan para Jenderal Polisi yang bermobil mewah kemana-mana? Sebaliknya, jika Saruji termasuk manusia yang memiliki nurani dan beradab, dia wajib berterima kasih kepada Rosmely, plus meminta maaf kepada wartawan Indra karena sudah me-mungli yang bersangkutan.

Terakhir, saya akan sukarela menerima apapun kesimpulan dan keputusan Bapak Kapolri, sepanjang Saruji segera ditangkap dan dipenjarakan. Perilakunya sebagai pemegang kewenangan pimpinan sekolah merugikan ribuan orang tua, bahkan puluhan ribu rakyat Indragiri Hilir. Lagi, saya akan lebih hormat dan angkat topi kepada Anda sebagai Kapolri Andalan Indonesia jika Kapolres Inhil, AKBP Budi Setiawan, segera dirumahkan sebagaimana pesan Presiden Prabowo Subianto 1-2 hari lalu. Jika tidak, jangan tersinggung apabila saya beri cap Anda Kapolri Sontoloyo, meminjam istilah yang digunakan Jokowi saat jadi Presiden. Terima kasih.

(Wilson Lalengke/Red)

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)