Perwirasatu.co.id - IKAN BUSUK, dimulai dari kepalanya. Sebuah narasi yang melekat pada seorang Listyo Sigit Prabowo dalam kapasitasnya sebagai Kapolri. Begitupun citra Polri yang semakin terpuruk, bukan semata karena anak buah yang buruk, akan tetapi karena kerusakan ada di pucuk pimpinannya.
Alih-alih meninggalkan legasi yang menjadikannya salah satu pemimpin terhormat dan membanggakan, Listyo Sigit Prabowo justru malah mengukir catatan kelam pribadi dan coreng-moreng Institusi Polri dengan pelbagai peristiwa inkomptensi dari dirinya juga jajarannya.
Mulai dari pelanggaran etik hingga pidana berat, menerpa dan mencoreng wajah Polri selama dibawah kepemimpinannya. Polri terus mengalami degradasi tajam, baik dalam citra maupun fungsi di mata Rakyat. Lembaga pemerintahan yang seharusnya melindungi, melayani dan mengayomi masyarakat, perlahan-lahan berubah menjadi “public enemy”, sebagaimana banyak dikeluhkan oleh publik. Sehingga, kondisi Polri layaknya musuh masyarakat.
Tercatat, beragam peristiwa yang menjadi aib, memilukan dan sangat mencoreng eksistensi Polri. Tragedi Kanjuruhan, KM 50, Sambo dan Satgas Merah Putih, Pengemudi Ojol yang dilindas, Kriminalisasi Orang-orang Lemah tak berdaya dan tak bersalah, serta begitu maraknya distorsi paradigma dan kinerja aparat kepolisian.
Termasuk dalam pelayanan masyarakat, penanganan narkoba, judi online dll. Dibawah komando Listyo Sigit Prabowo, Kondisi Polri begitu teramat miris dan memprihatinkan. Disfungsi Polri dalam kerangka kerja dan independensi institusi, dari pengaruh politik kekuasaan menjadi kental menempatkan Listyo Sigit Prabowo sebagai yang paling bertanggungjawab.
Kondite buruk bahkan mengerikan dari Listyo Sigit Prabowo dalam menahkodai Polri, tak ubahnya memberi dampak yang sama dan signifikan terhadap kemerosotan nilai institusinya. Listyo Sigit Prabowo tak terbantahkan dan tak bisa mengelak, telah menjadi pucuk pimpinan dari orkrestasi politisasi dan kontradiksi Institusi Polri.
Dalam relasi vertikal, pola koordinasi ke atas, Kapolri di tangan Listyo Sigit Prabowo dinilai telah menjadi alat kekuasaan presiden dan oligarki, bukan alat negara yang berorientasi pada rakyat. Polri hanya sekedar menjadi tukang pukul, dari para pemilik modal besar. Sedangkan kebawah, baik internal polri maupun dalam interaksi dengan masyarakat, penilaian mayoritas menempatkan polri sebagai salah satu institusi pelayanan publik terburuk.
PIL PAHIT REFORMASI POLRI
Terlepas dari sosok Kapolri dan siapapun yang mengisi jabatan itu, institusi Polri sepertinya sangat penting dan mendesak untuk melakukan reformasi. Raport Merah Listyo Sigit Prabowo, bisa jadi menjadi trigger atau stimulus dalam membenahi institusi Polri secara menyeluruh.
Berikut beberapa analisa yang layak mendapatkan perhatian, sebagai bahan refleksi dan evaluasi Polri untuk menjadi pertimbangan Presiden khususnya dan jajaran menyeluruh pada umumnya dalam melakukan reformasi Polri:
1. Dalam cita-cita dan semangat reformasi, Polri menjadi institusi yang tidak pernah tersentuh sepanjang reformasi bergulir hingga saat ini. Polri tidak masuk agenda utama, ketika amanat reformasi fokus pada penghapusan Dwi Fungsi ABRI dimana saat itu kelembagaan Polri masih berada di bawah TNI.
Menariknya, yang terjadi pasca reformasi, TNI membuka diri untuk menerima demokratisasi dalam tubuhnya. Ada tuntutan rakyat, tentara harus profesional, kembali ke barak. Sementara sejak reformasi, Polri justru sangat militeristik dan meninggalkan peran sipilnya dan sangat represif. Polri terus mempersenjatai aparatnya secara berlebihan, bahkan layaknya militer, hingga menanggalkan hakekat bahwasanya Polri merupakan aparat sipil yang diperbolehkan secara tertentu untuk menggunakan senjata.
2. Tata laksana organisasi yang yang belum ajek dalam sistem penilaian kerja, kepangkatan, promosi karir dll. Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri, menjadi satu contoh preseden buruk ketika menduduki jabatannya. Mengabaikan kepantasan jenjang karir, baik urutan maupun masa jabatan.
Warna pemilihan Kapolri dan jabatan-jabatan strategis lainnya, pada organisasi bhayangkara itu masih sangat kental politis dan konspiratif.
3. Banyaknya aparat kepolisian yang terhambat karirnya, karena persoalan suka tidak suka yang subyektif, kedekatan dan pendekatan uang telah merusak sistem organisasi dan birokrasi Polri. Menjadi rahasia umum, dalam internal Polri tumbuh subur KKN, sehingga muncul sikap apriori dan skeptis publik terhadap Polri dalam melayani masyarakat.
Dari kondisi itu, terlihat jelas ada ketidak adilan, tidak transparan dan sarat koruptif dalam pengelolaan Polri secara umum baik terhadap masyarakat maupun internal Polri itu sendiri.
Perjalanan kinerja dan citra Polri semenjak era reformasi, terus mengalami kemunduran fungsi dan kompetensi baik dalam pelayanan masyarakat maupun dalam ranah relasi sosial politik dan keamanan sebagai institusi negara.
Ada semacam aksioma atau setidaknya hukum tak tertulis dalam pandangan publik, seperti mengurus ayam hilang malah jadi kehilangan kambing. Ada juga yang menjadi hastag, jangan lapor polisi dan yang lebih ekstrim mengatakan polisi tak ubahnya penjahat berseragam. Sungguh sangat disayangkan, aparat polisi yang mulia dan terhormat, telah lama tercemar. Ibarat tuba setitik, rusak susu sebelanga. Polisi jahat, menenggelamkan polisi baik di institusi kepolisian.
5. Polri telah mengambil alih, peran Dwi Fungsi ABRI yang justru mencoreng cita-cita dan semangat reformasi. Bahkan lebih dari sekedar dwi fungsi, Polri juga merambah ke semua sektor penyelenggaraan negara. Alhasil, terkesan Polri menjadi multi fungsi dalam politik dan lembaga super body.
Salah satu contoh namun signifikan dari fenomena melampaui kewenangan dari eksistensi Polri, ialah: saat ini ada 4351 personil Polri menduduki jabatan di luar struktur Polri tanpa alih status dan mengundurkan diri sesuai amanat UU No.2 Tahun 2002 pasal 28 (ayat) 3 tentang Polri.
Tanpa disadari institusi Polri, keterpurukan kelembagaan juga mempengaruhi aparatnya. Ada gangguan psikis berat yang dialami para aparat kepolisian, karena tugas atau perintah yang distortif. Sehingga sering berakibat, aparat kepolisian berhadapan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Aparat kepolisian dipaksa melaksanakan instruksi atasan yang bertentangan dengan etika, moral dan hati nurani aparat itu sendiri. Akhirnya, aparat juga sering menjadi korban sistem yang kerap berbenturan dengan fungsi ideal institusinya sendiri dan juga kebutuhan Rakyat.
Sedangkan di sisi lain, banyak perwira menengah dan petinggi Polri hidup dalam kewewahan, gaya hidup hedon dan keluarganya kerap flexing. Beberapa realitas terkait posisi, peran dan fungsi Polri yang dianggap jauh dari ideal dan diwarnai banyak penyimpangan, sudah saatnya reformasi Polri menjadi satu keharusan. Melalui reformasi Polri, masalah krusial personal dan sistem yang menjadi penyakit kronik dari rakyat, negara dan bangsa Indonesia bisa dimulai dengan bijaksana, terarah dan terukur.
Atas semua keterpurukan, distorsi dan destruksi penyelengaraan peran dan fungsi Polri. Bagaimanapun juga, Polri layak diberi kesempatan untuk berbenah diri. Polri adalah salah satu aset negara dan bangsa. Jika bersalah, beri sanksi dan hukum saja, tapi jangan “bunuh” Polri.
Dengan kedewasaan dan kematangan serta kejujuran dalam melakukan refleksi dan evaluasi terhadap pemerintahan 2 periode sebelumnya, yang di dalamnya tercermin wajah Polri. Sepertinya menjadi linear dan equivalen, memperbaiki bangsa ini dari potensi disintegrasi dan kehancuran. Maka, reformasi Polri tak bisa lagi ditunda-tunda. Sejalan dengan itu, penggantian Kapolri akan menjadi awal reformasi di tubuh Polri. Semoga.
Oleh: Yusuf Blegur
Bekasi Kota Patriot.17 Rabi’ul Akhir 1447 H/10 Oktober 2025.
Disclaimer :
Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi. Segala bentuk analisis, pendapat, dan kesimpulan dalam tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Redaksi berkomitmen untuk menjunjung tinggi kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab sesuai dengan prinsip jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tulis Komentar