KDM Antara Politik Raja dan Anomali DemokrasiBy: Kundrat Kanda Permana (Aktivis Pemerhati Pembangunan Daerah)

$rows[judul]

Setelah dilantik menjadi Gubernur Jawa Barat, KDM membuat banyak gebrakan, mulai dari kontroversi barak militer, penertiban fasilitas umum, hingga perseteruannya dengan Ono Surono.Beragam komentar positif datang dari banyak masyarakat, baik warga Jawa Barat maupun seluruh Indonesia. Namun, di balik pujian itu, tak sedikit pula yang menuai kecaman dari pihak lain.

 

Saya mengapresiasi beberapa aksi KDM, seperti sidak, pengampunan pajak kendaraan, dan lain-lain. Namun, di balik semua kelebihannya, ada hal sangat prinsipal yang saya pandang kurang bagus, bahkan berpotensi menggulingkan kekuasaannya.

 

Pertama yang saya soroti adalah kebijakan KDM yang sangat impulsif dan sporadis terkait banyak hal, seperti peraturan sekolah, penertiban PKL, dan lain-lain. Sebagai pemimpin dalam sebuah negara demokrasi dan negara hukum, tindakan seorang pemimpin tak cukup mengandalkan niat baik, tetapi juga harus bersandar pada konstitusi yang berlaku. Salah satu penanda hadirnya negara dalam ruang masyarakat adalah adanya hukum, yang tentunya hukum itu legal dan telah disepakati sebagai sebuah aturan bernegara. Jika pemimpin mengabaikan itu dalam menggunakan wewenangnya, maka akan berujung pada tindakan sewenang-wenang.

 

Kita mempunyai Peraturan Menteri tentang pendidikan yang tertuang dalam Permen Pendidikan, namun KDM membuat kebijakan sendiri yang tidak menggubris aturan itu, seperti penambahan jumlah rombel di sekolah. Dalam tata negara kita, ada hierarki sumber hukum dari UUD sampai Peraturan Desa. Tidak bisa yang hierarkinya di bawah mengabaikan bahkan bertentangan dengan yang di atasnya. Dalam kaitannya dengan kebijakan KDM tentang pendidikan di sekolah, ia sama sekali mengabaikan Permen itu, bahkan seolah Menteri Pendidikan itu tidak ada. Begitu juga terkait permasalahan lain, seolah KDM adalah raja tunggal yang bisa membuat aturan sendiri.

 

Terlepas baik atau buruk sebuah aturan menurut perspektif pribadi KDM, aturan negara tetaplah aturan yang harus dijalani bersama dalam cerita bernegara.

 

Permasalahan kedua yang saya soroti adalah soal dedemokratisasi atau pelemahan demokrasi. Bukan rahasia jika KDM menghapus usulan anggaran dari DPRD Provinsi Jawa Barat, padahal beliau sendiri lahir dari rahim DPRD. Apalagi Wakil DPRD sebagai pemilik hak budgeting dalam pengelolaan keuangan daerah. Terlepas apapun alasannya, dari sisi demokrasi, KDM tidak menghormati keberadaan lembaga legislatif di daerah. Sementara itu, ia diangkat oleh partai yang merupakan bagian dari instrumen resmi negara.

Ketiga, KDM tidak paham ekonomi. Menjadi pemimpin tak cukup bermodalkan kepedulian dan niat baik, tetapi juga seorang pemimpin harus benar-benar paham dunia bisnis khususnya dan ekonomi secara umum. KDM harus paham cara dunia bekerja, ia harus sadar posisinya sebagai kepala daerah yang merupakan bagian dari sebuah negara, dan negara ini adalah negara dunia ketiga yang tak bisa berbicara banyak di ruang lingkup global. Hegemoni negara adidaya melalui regulasi dalam geopolitik global membuat negara ketiga hanyalah menjadi objek bagi negara maju dan adidaya. Tanpa kekuatan untuk mengimbangi itu, negara kecil apalagi provinsi hanyalah bisa berhalusinasi tentang kesejahteraan. Jangankan untuk melampaui, untuk bertahan saja kita harus mengorbankan alam untuk dieksploitasi secara mengerikan.


Kembali ke KDM. Apakah dia punya konsep untuk memperbaiki ekonomi masyarakat? Sudah pasti, presiden sekalipun tidak akan sanggup, apalagi KDM dengan kewenangan terbatas. Perlu diingat bahwa tugas negara adalah memastikan warganya hidup layak, mereka bisa makan, berpendidikan, dan sehat. Itulah janji negara dalam Pasal 33, di mana seluruh kekayaan alam dari darat dan laut serta seisinya dikuasai negara untuk kepentingan rakyat. Tapi faktanya, rakyat tidak kebagian apa-apa selain dampak negatif yang ditimbulkan dari kerusakan alam.

 

Yang harus dipikirkan KDM adalah bagaimana kesejahteraan rakyat meningkat. Definisi paling valid untuk mengartikan kesejahteraan adalah adanya uang, atau terjangkaunya harga. Selama banyak masyarakat tak mampu membeli kebutuhan primer, itu artinya rakyat miskin. Jelas bahwa kebijakan KDM tak ada korelasi dengan harga beras.

 

Masalah kemiskinan adalah masalah sosial yang sistemik, maka penanganannya mestilah secara sistemik, bukan keliling rumah warga dan membagi uang secara instan yang sama sekali tidak memiliki pengaruh bagi peningkatan ekonomi masyarakat secara merata. Menurut saya, satu jam waktu seorang pemimpin untuk berpikir tentang strategi peningkatan ekonomi masyarakat, lebih baik daripada berkeliling kampung satu tahun. Xi Jinping tidak perlu berkeliling ke gang atau selokan, tapi strategi ekonominya bisa membawa Tiongkok pada dominasi global.

 

Memang diakui sebagian masyarakat merasa terhibur oleh aksi KDM, mereka seperti kedatangan Sinterklas, tanpa sadar bahwa kemiskinan tetap menyelimuti.

 

Kemiskinan masyarakat kita yang sudah kronis, ibarat penyakit jantung. KDM seperti memberi obat merah dan plester, padahal penyakit sesungguhnya adalah penyakit jantung berat.

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)