Terkenal Di Langit Lebih MuliaBetapa banyak manusia yang masyhur di bumi tetapi tidak bernilai di langit, karena amalnya hanya untuk dilihat makhluk.

$rows[judul]Keterangan Gambar : Betapa banyak manusia yang masyhur di bumi tetapi tidak bernilai di langit, karena amalnya hanya untuk dilihat makhluk.


Perwirasatu.co.id - Ada saat ketika manusia begitu sibuk mengejar tepuk tangan dunia, padahal langit sama sekali tidak ikut bertepuk tangan. Padahal, ukuran tertinggi kemuliaan bukan pada sorotan manusia, tetapi pada penilaian Allah yang Maha Melihat isi hati. Karena itu, setiap langkah seharusnya diarahkan untuk menjadi hamba yang dicintai langit, bukan sekadar dikagumi bumi.

Di setiap perjalanan hidup, manusia sering kali terjebak pada keinginan untuk dikenal, dihargai, dan dipuji oleh sesama. Padahal, ada sebuah ketenangan yang jauh lebih dalam ketika seseorang memahami bahwa dikenal oleh penghuni langit lebih agung daripada viral di bumi. Nama yang harum di hadapan malaikat tidak ditentukan oleh rupa, harta, atau jabatan, melainkan oleh kemurnian hati yang hanya Allah yang mengetahuinya. Maka benarlah ungkapan para ulama, “Cukuplah Allah sebagai saksi dari amal yang tidak perlu diumumkan kepada makhluk.”

Allah sendiri menegaskan bahwa Dia menyembunyikan penerimaan amalan agar hati hamba tetap hidup dalam rasa khawatir yang menenangkan. Allah berfirman: 

﴿وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ﴾ 

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang mereka berikan, sementara hati mereka penuh rasa takut.” (QS. Al-Mu’minun: 60). 

Para ulama menjelaskan bahwa yang mereka takutkan bukanlah kurangnya amal, melainkan tidak diterimanya amal oleh Allah. Rasa takut inilah yang menjaga seorang hamba dari sombong dan merasa cukup.

Dalam waktu yang sama, Allah tidak membiarkan ketakutan itu berubah menjadi keputusasaan. Pintu taubat selalu dibukakan selebar-lebarnya, bahkan ketika manusia sendiri hampir menutup pintu harapannya. Rasulullah ﷺ bersabda: 

«إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ» 

“Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba selama nyawanya belum sampai di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi). 

Harapan ini ditaati oleh mereka yang hatinya tidak ingin dikenal sebagai orang baik di hadapan manusia, tetapi ingin dikenal sebagai hamba yang kembali di hadapan Allah.

Salah satu hikmah terbesar yang sering manusia lupakan adalah bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh betapa hebatnya ia memulai, tetapi bagaimana akhir hidupnya. Rasulullah ﷺ bersabda: 

«إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ» 

“Sesungguhnya amal itu tergantung pada penutupnya.” (HR. Bukhari). 

Inilah sebabnya tidak ada seorang pun yang boleh tertipu oleh amalnya, betapapun banyaknya. Karena yang menentukan bukan jumlahnya, melainkan keikhlasan yang mengiringi langkah terakhirnya.

Jika raga lebih mulia daripada ruh, tentu jasad manusia akan diangkat ke langit, sementara ruh ditinggalkan di bumi. Namun kenyataannya, ruh lah yang naik, sementara tubuh dikembalikan ke tanah. Ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa kemuliaan sejati bukan pada apa yang tampak, melainkan pada yang tersembunyi. Allah tidak melihat kepada kulit atau bentuk tubuh, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: 

«إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ» 

“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). 

Betapa banyak manusia yang masyhur di bumi tetapi tidak bernilai di langit, karena amalnya hanya untuk dilihat makhluk. 

Betapa banyak manusia yang masyhur di bumi tetapi tidak bernilai di langit, karena amalnya hanya untuk dilihat makhluk. Dan betapa banyak hamba yang tidak dikenal manusia, tetapi namanya harum di hadapan malaikat karena keikhlasannya. Ada orang yang hidup tanpa sorotan, tetapi setiap malam ia memohon ampun, dan setiap siang ia menahan lisannya dari menyakiti. Ada yang tidak memiliki popularitas, tetapi malaikat mencatat kesabaran, keteguhan, dan sujud panjangnya. Tidak ada riuh, tetapi ada cahaya yang naik ke langit.

Ukuran kemuliaan di sisi Allah bukan kekuatan raga, kecantikan wajah, atau kedudukan sosial, melainkan ketakwaan. Allah berfirman: 

﴿إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ﴾ 

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13). 

Takwa tidak perlu dideklarasikan; ia hidup dalam amal yang tersembunyi, doa yang lirih, dan hati yang selalu kembali kepada-Nya.

Karena itu, lihatlah kedudukanmu di sisi Allah, bukan di mata manusia. Jika Allah ridha, apa lagi yang harus ditakuti? Jika Allah masih memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri, apa lagi yang perlu disombongkan? Dunia menilai dari apa yang tampak, tetapi Allah menilai dari apa yang tidak terlihat. Ketika manusia menilai dari sampul, Allah menilai dari kedalaman.

Maka, jangan habiskan hidup untuk mengejar penilaian manusia. Ia lemah, berubah, dan tidak pernah selesai. Tetapi penilaian Allah tetap, sempurna, dan menjadi penentu nasib akhir seorang hamba. Yang paling penting bukanlah dikenal banyak orang, tetapi dikenal baik oleh langit. Sebab, pada hari ketika semua manusia sibuk memikirkan dirinya sendiri, hanya penilaian Allah yang akan menyelamatkan.

Jika langkahmu kecil, tetapi untuk Allah, itu lebih mulia daripada langkah besar untuk manusia. Jika amalmu sedikit tetapi ikhlas, itu lebih berat daripada gunungan amal yang dicampuri riya. Maka berjalanlah pelan, tetapi menuju ridha-Nya. Jadilah hamba yang lebih ingin dicatat malaikat daripada dipuji manusia. Sebab pujian manusia tidak akan menemanimu di kubur, tetapi amal ikhlasmu akan meneranginya.

Dan pada akhirnya, cukup satu pertanyaan untuk mengarahkan seluruh hidup: “Apakah langit mengenal kita sebagai hamba yang taat atau sebagai hamba yang melupakan Tuhannya?” Jika jawabannya membuatmu menunduk, maka itulah awal dari perjalanan yang benar. Semoga Allah menjadikan kita hamba yang lebih mulia di langit daripada di bumi. Aamiin.

Editor: Bro Tommy 

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)